Dari kecil, Azzura tidak pernah tau wajah anggota keluarganya. Apalagi alasannya dititipkan -atau bisa jadi ditelantarkan- di panti milik Ibu Fika. Seramai apapun, senyaman apapun, ia tetap sendirian di dalam dunia kecilnya. Tidak ada peluk hangat dari mereka, tidak ada kata-kata sayang dari mereka, tidak ada yang mengenalkannya apa itu cinta.
Tidak ada.
Bagian itu memang selalu jadi bagian paling menyedihkan dalam ceritanya.
🌹🌹🌹
Pagi yang menyebalkan. Kepalanya berdenyut karena terpaksa bangun dari tidur yang jauh dari kata pulas. Ray menegakkan punggungnya ke kepala kasur. Tangannya meraih benda pipih di atas nakas.
Mata pemuda itu menangkap empat digit angka di sudut layar. Masih merutuki ponselnya, jemarinya mulai menelusuri seisi ponselnya.
"Siapa coba yang telepon jam lima subuh?" gerutunya.
Dibukanya riwayat panggilan. Di sana, tertera ada dua panggilan tak terjawab. Ia memastikan dirinya sekali lagi, nomor itu bukan berasal dari seseorang yang ia kenal. Dengan kata lain, panggilan super mengganggu tersebut memang sepatutnya ia abaikan saja.
Tubuh kekar itu luruh separuh. Ada baiknya ia memejamkan matanya sebentar, mungkin sekitar setengah jam, agar keadaannya nanti benar-benar segar ketika bangun.
Ting.
Alih-alih berhasil melanjutkan labuhan alam mimpinya, sebuah notifikasi pesan singkat menyeruak tanpa dosa.
Tanpa niat selain menghilangkan tanda angka notifikasi di layar handphone, Ray menelusuri pesan terbarunya.
(+62) 812 7942 1xxx
Lihat, bahkan pesan itu berasal dari nomor yang tidak ia kenal. Alamat yang sama dengan si penelpon misterius sebelumnya.
Belum ada respon berarti dari Ray, hingga akhirnya dirinya membaca SMS tersebut lebih lanjut.
Pupilnya berespon pertama kali, tidak percaya dengan kata-kata sederhana yang ia baca. Cukup dengan dua kata yang tersemat dalam pesannya, sembilan puluh persen Ray dapat mengetahui dari siapa pesan itu datang. Hanya ada sedikit kemungkinan, dan dirinya sendiri tidak bisa tidak percaya.
"Aku ... pulang?"
Tidak salah lagi. Mungkinkah benar nomor ini milik ...
Ray menggelengkan kepalanya, memilih tidak membalas satu patah kata pun. Gawai canggih itu sedikit bergetar karena tergenggam terlalu kuat. Sebelum benar-benar mengunci ponsel, jemarinya mengetikkan beberapa huruf di bagian nama pengirim.
Kasur Ray sedikit bergerak. Sang pemilik beranjak pelan dari sana tanpa menimbulkan bunyi. Akibat tidak bisa tidur walau sudah mencoba, Ray memutuskan bangun. Berendam mungkin dapat menjadi alternatif untuk menenangkan pikiran.
Separuh tubuhnya ia tenggelamkan ke air, menyisakan area hidung ke atas yang masih berada di atas permukaan. Ia mengacak rambutnya.
Seperti apa perasaan yang harus ia tunjukkan? Jika sesuai dugaan, haruskah ia senang, atau haruskah ia resah?
🌹🌹🌹
Pagi itu, Ray memutuskan membuatkan sarapan untuknya dan Azzura. Kedua tangannya ia gerakkan untuk meraih beberapa potong roti tawar serta selai di atas meja makan.
"Hai!" Sebuah sapa hangat terdengar merdu di telinga Azzura ketika langkahnya baru saja keluar dari kamar.
"Pagi ... Ray?" timpalnya heran, "apakah ada hal penting tentang kerja pagi ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
La Vie en Rose | ✔
General FictionHighest rank #1 sastraindonesia (12/06/2023) #1 azzura (02/10/2023) #2 kontrak (05/01/2024) #3 yaindonesia (04/01/2024) #3 bali (19/05/2023) #9 comfort (12/05/2023) #10 ray (13/09/2023) #26 kimsoohyun (29/05/2023) #27 kantor (12/05/2023) #27 mantan...