#3. Bahagia Yang Sederhana

41 5 2
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Sesuatu yang diawali dengan menyebut nama Allah, tidak akan pernah mengecewakan.

•••

Ya Allah, ridhoi setiap langkahku agar hasilnya berbuah indah, dan perjuanganku menjadi berkah.

•••

Pengumuman untuk berangkatnya atau tidak aku dan Afifah ke Korea Selatan akan diumumkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pengumuman untuk berangkatnya atau tidak aku dan Afifah ke Korea Selatan akan diumumkan. Hari ini rasanya langkahku begitu berat saat berjalan di koridor. Awalnya aku ingin putar balik, tapi nanti aku tidak tau hasilnya. Ya Allah... kuatkan hatiku agar mampu dan berani melihat pengumuman itu. Anak-anak menatapku sedih. Astagfirullah, perasaanku benar-benar menjadi sangat tidak enak. Apakah itu tatapan iba?

Semakin dekat aku ke ruang rektorat semakin banyak orang yang menatapku dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Sebenarnya ada apa ini, Ya Allah? Apakah sesuatu yang tidak kuinginkan sudah terjadi sekarang?

Terlihat Afifah yang sedang bersandar di dinding membelakangi pintu ruangan. "Assalamu'alaikum," salamku membuat semua orang yang berada di sana beralih menatapku.

Afifah langsung berbalik saat mendengar suaraku. "Wa'alaikumussalam. Ra, kita udah ditunggu di dalam."

Aku mengangguk. Kami pun langsung masuk setelah mengetuk pintu dan tak lupa mengucapkan salam. Aku merasakan tangan Afifah yang dingin, wajahnya pun pias. Aku tahu sekali apa yang dia rasakan saat ini, karena aku pun tengah merasakannya.

"Silakan, duduk," ucapan Rektor kami sedikit lirih.

Oh Allah... ada apa ini? Kenapa Pak Anwar sedih? Apakah nilaiku tidak memenuhi syarat?

Beliau mengeluarkan dua amplop berisi surat pengumuman itu di hadapan kami. "Saya mohon maaf, tapi kalian...."

Beliau menggantungkan ucapanya. Tapi, tanpa Beliau lanjutkan pun aku tau apa yang ingin beliau katakan.

Tangan kiriku meremas gamis, sedangkan tangan kananku digenggam kuat oleh Afifah. Oh Allah... apakah ini memang tidak ditakdirkan untuk kami? Apa secepat ini harapanku punah? Apa secepat ini aku harus menyerahkan dan hanya berpasrah?

Aku mencoba menahan air mata yang sebenarnya sudah meronta ingin menetes dari pelupuk mata. Aku harus kuat, mungkin Allah punya rencana lain untukku.

"Kita tidak memenuhi syarat, ya, Pak?" tanyaku dengan suara yang bergetar.

Rektor Anwar menghembuskan napas pelan."Lebih baik, kalian baca saja surat ini."

Dengan tangan yang bergetar, aku dan Afifah mengambil surat itu dari atas meja. Aku membuka surat itu diawali dengan membaca bismillah. Rasanya aku tak sanggup mengetahui kenyataan ini. Oh Allah... tabahkan hatiku, kuatkan diriku agar senantiasa bersyukur atas takdir-Mu.

Wa'alaikum, Sunbaenim!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang