#2. Rancangan Takdir

53 5 0
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Aku tak sebaik apa yang kamu ucapkan, tetapi aku tak seburuk apa yang terlintas di hatimu. (Ali bin Abi Thalib)

•••

Jangan mudah baper, pandailah mengatur hati, agar diri tidak mudah tersakiti.

•••

Sekarang sudah pukul 8 lewat 20 menit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekarang sudah pukul 8 lewat 20 menit. Aku sedang bersiap untuk berangkat ke kampus. Ujianku akan dimulai pukul 9 lewat 15 menit. Jadi, masih ada banyak waktu sebelum aku berangkat ke kampus. Kupandangi pantulan diriku di cermin, rasanya jantungku seakan ingin keluar dari tempatnya.

Bismillah... atas izin Allah, aku pasti bisa dan mendapatkan nilai yang memuaskan. Bukankah sesuatu yang melibatkan Allah tak akan pernah mengecewakan?

Kebetulan hari ini Ummi dan Abi pergi melihat Kakekku yang sedang sakit di daerah Magelang. Jadi, mau tak mau aku sendirian di rumah untuk beberapa hari kedepan.

Dengan segera, aku berangkat menggunakan motorku menuju kampus. Jalanan kota Bandung cukup ramai. Banyak kendaraan yang berlalu lalang di antara gedung-gedung tinggi yang menjulang.

Motorku melenggang memasuki area parkiran. "Assalamualaikum, Keinara," sapa seseorang di belakangku. Sepertinya aku sedikit mengenal suaranya.

Kubalikan badanku. Mataku dengan spontan melotot saat melihat siapa yang ada di belakangku. Astagfirullahal'adzim, dia lagi? Pagiku menjadi benar-benar buruk hari ini.

"Assalamualaikum," salamnya untuk yang kedua kali.

Aku menggeleng seraya tersadar telah mengabaikan salamnya. "Wa'alaikumussalam."

Tampak dia tersenyum. "Udah aku bilang, kan, kalau kita pasti bakal ketemu lagi. Dan sekarang... kita ketemu lagi. Tentu atas seizin Allah."

Ya Allah... sebenarnya apa yang sudah Engkau rencanakan sehingga menemukanku kembali dengan pria menyebalkan ini? Aku sungguh jengah dengan tingkahnya. Dia beda fakultas denganku, aku tau karena sempat bertanya pada Afifah beberapa hari yang lalu. Dia anak fakultas hukum, dan aku fakultas kedokteran. Bangunan fakultas kami cukup jauh, dan kampusku juga sangat luas. Tapi, kenapa aku harus bertemu dengan dia lagi?

"Maaf, ya... saya buru-buru, Assalamualaikum." Aku segera beranjak pergi dari hadapannya.

Jangan sampai aku berbicara yang tidak-tidak lagi karena terlampau kesal dengan pemuda bernama Alif itu. Ya, dia Alif. Pemuda yang sama dengan pemuda yang tidak sengaja bertemu denganku di pasar waktu itu.

Wa'alaikum, Sunbaenim!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang