#12. Walking in Seoul

15 1 0
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Aku tidak pernah menyesali diamku, tapi aku berkali-kali menyesali bicaraku.

Umar bin Khattab

•••

Percayalah, bahwa ketetapan Allah adalah jalan terbaik. Meskipun di jalan itu kamu harus tersandung batu berkali-kali.

•••

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

10.58 KST
Seoul, Korea Selatan.

Akhirnya akhir bulan tiba. Setelah sebulan ini aku disibukkan dengan berbagai kegiatan, akhirnya kini bisa memanjakan diriku di negeri ginseng dan negeri para oppa ini.

Sayang sekali Afifah dan Maura tidak bisa ikut karena ada beberapa keperluan kampus, padahal mereka yang paling antusias untuk jalan-jalan. Tak apa, mungkin aku nanti akan membelikan mereka oleh-oleh.

Aku memilih menaiki kereta bawah tanah yang memang sudah disediakan Hanyang University untuk memfasilitasi para mahasiswa di sini. Setelah sekitar 30 menit, aku akhirnya sampai di Stasiun Itaewon.

Hanya perlu waktu sepuluh menit jika jalan kaki dari Stasiun Itaewon ke Seoul Central Mosque.

Tiba-tiba ponselku berdering. Aku berhenti. "Yeoboseyo (Halo)?" kataku mendekatkan ponsel ke telinga.

"Eodie isseoyo (Kamu di mana sekarang)?" tanya Eun Byeol di seberang sana.

"Aku sedang dalam perjalanan menuju Seoul Central Mosque. Waeyo? (Kenapa)," tanyaku.

"Bisakah kau menunggu di Seoul Central Mosque? Ada yang ingin aku bicarakan denganmu." Suara Eun Byeol terdengar sedikit khawatir. Ada apa? Pikirku.

"Geurae (baiklah)." Setelah itu Eun Byeol menutup teleponnya.

Saat sampai di Seoul Central Mosque aku langsung masuk ke sana untuk I'tikaf. Tak berselang lama ada seseorang yang menepuk pundakku.

"Annyeonghaseyo, Nara-ya," ucap Eun Byeol yang datang menggunakan penutup kepala, kaca mata hitam serta masker.

Ada apa dengan gadis ini?

"Ada apa, Eun Byeol-ah? Kenapa kamu menggunakan pakaian seperti itu?" tanyaku heran.

Dia tampak memerhatikan sekitar lalu membuka masker dan kaca mata hitamnya. "Nara-ya... aku ingin bercerita sekaligus meminta tolong padamu," lirihnya.

Wa'alaikum, Sunbaenim!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang