#7. Teman Baru

33 5 0
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Semakin jauh dari Allah, semakin banyak pula pil kekecewaan yang harus ditelan.

•••

Aku jadikan Allah sebagai tujuan. Dengan itu, aku tidak akan lagi memikirkan asumsi manusia. Sebab sebaik apapun aku, di mata manusia pasti ada salahnya.

•••

Setelah tadi mendengar penjelasan di kelas, kini aku, Afifah, dan Maura melenggang keluar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah tadi mendengar penjelasan di kelas, kini aku, Afifah, dan Maura melenggang keluar. Semua mahasiswa dan mahasiswi pertukaran pelajar berbondong-bondong keluar dari kelas. Cuaca juga lumayan terik hari ini. Bismillah, semoga ini awal yang baik untukku.

Aku memilih keluar dari area kampus hendak melihat-lihat sebentar area luar kampus. Sedangkan Afifah dan Maura mungkin kembali ke dormitory.

Annyeong Hasimnikka, (halo, selamat pagi,)!" ucap salah satu wanita berkacamata dengan rambut pendek sebahu. Tubuhnya tidak terlalu tinggi. Mungkin sekitar 160 cm.

Aku tersenyum ramah. "Nee, Annyeonghaseyo (Iya, halo juga)."

"Ah, kau pasti mahasiswa pertukaran, kan? Tadi aku tidak sengaja melihatmu keluar dari kelas itu," tanyanya dengan bahasa Korea sambil memandangku.

Kami mengangguk serentak. "Benar, aku mahasiswa pertukaran dari Indonesia," jawabku.

Dia mengangguk. "Ah, Indonesia. Aku sangat ingin ke sana. Perkenalkan namaku Moon Eun Byeol." Dia mengulurkan tangannya.

Aku membalas. "Keinara Mumtaza Az-Zahra."

"Apakah kita bisa berbincang-bincang sebentar di coffee shop?" katanya. Wajahnya penuh harap.

"Boleh," jawabku.

Akhirnya kami berdua memilih coffee shop yang tidak terlalu jauh. Setelah berbincang-bincang, aku mengetahui kalau Eun Byeol adalah kakak tingkatku. Kami pun bertukar nomor telepon.

"Jadi, begini... kau seorang muslim, kan?" tanyanya. Aku mengangguk dan diam menunggu Eun Byeol melanjutkan kalimatnya. "Aku... tertarik pada Islam," lanjutnya.

Aku tersentak kaget, tapi kemudian aku tersenyum senang. Masyaallah, apa yang baru saja kudengar? Hatiku berdesir hebat mendengarnya.

"A-apa boleh aku bertanya tentang Islam kepadamu?"

Aku mengangguk mantap. Tentu saja aku mau. Ya Allah, sungguh aku sangat senang apabila ada seseorang yang bertanya tentang Islam.

"Tentu saja. Selagi aku bisa menjawab, pasti akan kujawab. Apa yang hendak Sunbae tanyakan?" tuturku membuat matanya berbinar.

Dia terlihat menggigit bibir bawahnya. "Bisakah kau panggil aku Eun Byeol saja? Setidaknya ketika kita sedang di luar kampus."

Aku menatapnya. "Apakah boleh?"

Wa'alaikum, Sunbaenim!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang