#11. Different Dinner

28 1 0
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Tidak beriman seseorang di antaramu hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (HR. Bukhari ; Shahih)

•••

Bersabarlah wahai diri... bisa jadi keinginanmu ditunda karena mungkin Allah sedang menyempurnakannya.

•••

Seoul, Korea Selatan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seoul, Korea Selatan.
20.35 PM KST

Kami sedang makan malam. Hari ini aku membuat nasi goreng. Salah satu masakan favorit pelajar di Indonesia.

Aku berkali-kali melihat ke arah pintu. Aku takut Daniel benar-benar nekat. Aku sama sekali tidak menunggu kehadirannya. Semoga saja dia tidak ke sini dan mengajakku makan malam bersama. Oh Allah, aku takut sekali. Kalau dia benar-benar datang bagaimana, ya?

"Kenapa, sih, Ra?" Akhirnya Afifah buka suara setelah melihat gelagatku yang sedikit aneh.

Aku menggeleng seraya memasukan sesendok nasi goreng ke mulutku. "Nggak pa-pa,"

Afifah hanya menaikan bahunya tak acuh. Suasana hening. Hanya dentingan sendok yang terdengar. Sampai akhirnya, bel kamar kami berbunyi.

Aku segera berlari untuk membuka pintu.
"Annyeonghaseyo, Agassi (Halo, Nona)," ucap penjaga asrama.

Aku menghembuskan napas lega. Aku buru-buru berlari membuka pintu karena takut jika yang datang itu Daniel-ssi.

Aku tersenyum. "Ada apa, ya, Bu?" tanyaku dalam bahasa korea.

"Maaf saya mengganggu. Ini saya membawa cucian. Sudah selesai." Dia memberikan sekantong baju yang telah selesai di laundry.

"Oh begitu. Sebentar, saya ambil uangnya dulu." Aku masuk ke dalam sambil membawa baju-bajuku.

"Siapa, Ra?" tanya Maura.

Aku menjawab sambil mencari uang, "Yang nganter laundry aku."

Setelah mendapatkan uang aku kembali ke pintu untuk memberikannya kepada tukang laundry tadi. "Terima kasih, Bu."

"Nee (iya), saya permisi."

Aku mengangguk sopan. Aku celingak-celinguk ke sekitar area luar kamar. Tidak ada tanda-tanda Daniel dan kedua temanya. Alhamdulillah. Hatiku sedikit bisa lega, walaupun masih ada rasa khawatir. Ucapan Daniel sangat-sangat menganggu dan membuatku tidak tenang.

Aku kembali melanjutkan makan sebelum nasi gorengku menjadi dingin. Aku sesekali tetap melihat ke arah pintu.

Setelah makan, tentu saja harus mencuci piring-piring kotor yang telah digunakan, dan itu yang sedang aku lalukan sekarang. Di tengah-tengah acara mencuci piring bel kamar berbunyi lagi. Aku hampir setengah berlari membuka pintu. Tapi, Maura sudah lebih dulu membukanya.

Wa'alaikum, Sunbaenim!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang