Tamu Tak Diundang

53 4 0
                                    

Sebuah mobil mewah memasuki pelataran rumah besar dan megah, berlantai dua, bagaikan istana. Dengan halamannya yang sangat luas, tertata apik berbagai macam tanaman yang menghiasi di taman.

Tampak beberapa jenis mobil mewah yang lainnya pun berjajar rapi di garasi. Satu lagi terparkir di halaman yang beralaskan conblock bercorak. Terlihat sempurna kemewahan rumah ini. Menunjukkan bahwa sang pemilik adalah orang yang sangat kaya raya di negeri ini.

“Siapa perempuan itu? sepertinya saya belum pernah melihatnya.” Andreas seorang pria tampan, berbadan tinggi dan tegap dengan kulit kuning langsat, baru saja keluar dari mobil mewahnya. Menatap tajam pada seorang wanita dengan penampilan seadanya.

Wanita itu sedang menyapu halaman yang kotor oleh daun-daun kering yang berguguran. Rupanya ia tengah membantu salah seorang tukang kebun di rumah ini. Dengan wajah yang riang wanita itu sesekali bersenandung lirih.

Andreas menutup pintu mobilnya, lalu menjauh dan menghampiri salah seorang penjaga rumah yang sedang berdiri memerhatikan dia.

“Siapa dia?” Andreas melepas kaca mata hitamnya. Menatap lagi dari kejauhan wanita yang baru dia lihat itu.

“Tidak tahu, Tuan.” Dengan cepat penjaga itu menggeleng. Kedua telapak tangan menyatu di depan perutnya, matanya mengikuti arah majikannya memandang wanita itu dari kejauhan.

“Kenapa dia ada di sini?” Pertanyaan berikutnya terlontar. Andreas masih memerhatikan wanita itu dengan tatapan yang dingin.

“Katanya, dia ingin mencari kerja di sini, Tuan. Pada hal tadi saya sudah bilang kalau di sini tidak terima pekerja lagi. Tapi dia memaksa.” Dengan gugup penjaga itu menjelaskan. Ia takut jika Andreas marah melihat hal ini.

Tuhan, semoga Tuan Andreas tidak marah. Sebab jika dia marah, habislah saya dipecatnya. Doa penjaga itu dalam hati. Seragam yang terdapat tulisan John tersemat di bagian dada kanannya,  seketika basah diguyur keringat yang bercucuran.

Namun, kali ini nasib baik sedang berpihak pada John. Andreas yang terkenal seenaknya saja dalam mengambil keputusan rupanya kini sedang berbaik hati. Dia hanya menepuk bahu John, kemudian pergi meninggalkannya. Berjalan menuju istananya yang besar dan megah.

John bernapas lega. Dia mengelus dada sambil pergi meninggalkan tempatnya berdiri, menuju pos di mana dia harus berjaga dan memerhatikan keamanan di setiap sudut lingkungan rumah ini melalui monitor cctv.

Detik kemudian, gawai John mengeluarkan suara panggilan. Bergegas dia merogoh kantong celananya. “Ah, Tuan Andreas,” dengusnya seraya mengusap layar gawai itu. Rasa yang semula lega kembali diselimuti oleh kecemasan.

“Ya, Tuan?” Tanpa menunggu suara Andreas, John menjawab telepon.

John terdiam sebentar untuk mendengarkan perintah yang disampaikan oleh Andreas. Wajahnya tampak begitu serius. “Baik, Tuan.”

Setelah menerima perintah majikannya, pria bertubuh jangkung itu bergegas berlari keluar pos menghampiri wanita yang masih membantu tukang kebun membersihkan taman.

“Nona, Anda diminta untuk menemui Tuan Muda,” beritahu John saat sudah mendekat.

“Ada apa ya, Pak?” wanita itu menghentikan kegiatannya. Ia menoleh saat John mendekat dan menyampaikan pesan dari Andreas. Wajahnya mengernyit, seakan ingin tahu ada apa pemilik rumah ini memanggilnya.

“Tidak tahu, Nona. Saya hanya diperintahkan Tuan. Jadi, silakan Nona segera menemuinya sebelum Tuan marah karena menunggu anda terlalu lama.” John menjelaskan.

“Kenapa dia harus marah? Tidak bisa kah dia bersabar sedikit?” sangkal wanita itu sambil meletakkan beberapa alat kebersihan kemudian mencuci tangannya.

“Sudahlah, Nona. Anda jangan terlalu banyak bertanya. Saya bisa dipecatnya nanti,” pinta John memelas.

“Hah! Seseram itu kah majikan Anda? Semena-mena saja. Tak berperasaan. Seperti apa sih dia?” wanita itu memberikan penekanan pada suaranya. Rasa penasaran ingin tahu seperti apa orang kaya itu, sekaligus merasa kesal mendengar pengakuan John, sehingga dia harus mempercepat membersihkan tangannya. Agar penjaga rumah itu tak terkena imbasnya.

Wanita itu mengekor John menuju istana megah yang dibangun diatas tanah seluas hingga mencapai dua hektar. Jantungnya berdebar, sejuta tanda tanya bertengger di benaknya. Ada apa orang kaya itu memanggilku?

“Waow!” Wanita itu mengedarkan pandangan di setiap sudut ruangan yang ia lewati. Dalam hatinya dia berdecak. Tersirat dari wajahnya, kekagumannya melihat semua yang ada di dalam rumah itu dan sekitarnya. Sehingga dia lupa akan kekesalannya.

Sofa-sofa yang besar, lampu-lampu kristal nan gemerlap, meja yang terbuat dari batu marmer dan masih banyak lagi barang-barang mewah tertata rapi di sana.

Ah, kapan aku bisa punya rumah seperti ini. Dengan barang-barang yang super mewah dan tentunya sangat mahal. Sehingga aku dan Nenek tak harus berpindah-pindah jika kami tak sanggup membayar kontrakan. Cih! Membayar kontrakan? Bisa beli makan setiap hari saja kami sudah sangat bersyukur. Apalagi membayar kontrakan di rumah yang nyaris seperti kandang ayam. Menyedihkan. Dalam hati wanita itu merutuk.

Tiba-tiba John menghentikan langkahnya saat berada di depan sebuah ruangan yang pintunya tertutup. Membuat wanita itu menubruknya karena tak fokus melihat arah mereka melangkah.

“Hati-hati, Nona. Jangan sampai Anda menubruk tembok. Sebab harga cat tembok ini lebih mahal dari pada pengobatan luka Anda jika tertabrak tembok ini,” olok John.

Seketika wanita itu membelalakkan mata dan memoncongkan bibirnya. Merasa kesal dengan olokan itu. Namun, dia tak bisa marah. Dia merasa bersalah karena tak fokus. Segera wanita itu menangkupkan tangan di depan dadanya seraya sedikit membungkukkan badan. “Ma-maaf, Tuan.”

“Ah, sudah lah. Cepat masuk. Tuan Andreas sudah menunggu Anda di dalam,” ucap John sedikit ada penekanan walau tak bersuara keras.

Wanita itu menurut. Ia melangkah memasuki sebuah ruangan, setelah John membukakan pintu ketika mendengar suara dari dalam mengijinkan mereka untuk masuk, saat penjaga itu mengetuk pintu.

Wanita itu kembali mengedarkan pandangan dan berdecak kagum melihat ruangan luas dengan perabotan yang mewah. Rupanya ini adalah ruang kerja. Terlihat dari meja kerja besar yang terbuat dari kayu jati tanpa ukiran berwarna coklat gelap. Wanita itu mengusap-usap kursi yang berada di depan meja kerja, kulit kursi itu terasa lembut di tangannya. Begitu pula sofa-sofa yang tertata rapi, berwarna senada dengan kursi kebesaran Andreas yang saat ini ia duduki. Dengan pembungkusnya yang berbahan kulit berwarna marun.

Andreas mengangkat wajah dan alisnya. Tampangnya yang terlihat angku, tampak dingin menatap wanita itu dari kursi kebesarannya.  Dia membiarkan wanita itu menyusuri setiap sudut ruang itu. Seolah-olah memberikan kesempatan untuk menikmati kekagumannya.

“Ehem!” Andreas berdehem. Memberikan tanda kepada wanita itu setelah beberapa menit mengamati dan mengagumi ruangannya.

“Nona, Tuan Muda sudah menunggu Anda,” tegur John. Membuat wanita itu berbalik dan berhadapan dengan Andreas.

Seketika wanita itu terperanga. Lingkar matanya membesar melihat Andreas. Glek … ia menelan ludah yang sempat menyekat ditenggorokannya.

Bersambung …!

PUSPITA (Mencari Cinta Sejati)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang