» 24 • Escape

274 52 8
                                    

Senin yang cerah pada pukul tujuh pagi di Wellington.

Sudah hampir satu bulan Lia berada di ibu kota Selandia Baru tersebut. Pagi itu Lia pergi bersama Jihana menggunakan mobil. Lia tampil dalam balutan kaus dan jaket kulit warna hitam, rok putih gading, boots hitam yang hampir menyentuh lututnya, serta rambut yang dicepol asal.

"Zurich, Kopenhagen, Edinburgh, dan sekarang Wellington," ucap Lia seraya menyebut satu persatu nama kota yang tertera pada kertas dalam genggamannya. "As expected, sifat perfeksionis Ayah bahkan bisa Lia rasain cuma dengan baca nama-nama kota ini."

"Dia itu pemilih banget. Bahkan dalam pelariannya aja dia masih sempet buat kepikiran kabur ke kota-kota paling layak huni di dunia. Kayak yang kamu bilang tadi, as expected, ayah kamu paling nggak bisa hidup tanpa 'kesempurnaan' di dalamnya," sahut Jihana.

Lia menoleh ke bundanya. Gadis itu menatap lekat-lekat Jihana yang tengah menyetir. Ia berusaha mengabaikan puluhan mobil hitam lain yang mengikuti di belakangnya.

Merasa diperhatikan, Jihana menoleh. "Kenapa, Sayang?"

Lia diam sejenak. "Apa Bunda yakin kali ini kita bakal berhasil?"

"Of course, why not? Bunda selalu percaya kita bisa berhasil selama kita udah berusaha keras," Jihana menatap sekilas putrinya sebelum kembali fokus pada jalanan. "Ada hal yang ngeganggu pikiran kamu, Lia?"

Lia menghela napasnya. "Lia cuma ngerasa, kita udah jauh banget. Kalo sampe kali ini gagal lagi, Lia nggak tau lagi harus gimana, Bun."

Jihana tersenyum lembut. Wanita itu mengulurkan sebelah tangannya untuk mengusap kepala putrinya dari samping. "Everything will be alright. Bunda janji, setelah semua ini selesai, kamu bakal dapet kehidupan yang kamu impikan dari dulu, Sayang."

Lia ikut tersenyum. "Makasih, Bunda."

Mobil yang membawa Lia dan Jihana akhirnya tiba di tujuan. Oriental Bay, itulah tujuan mereka. Pantai yang lokasinya dekat dengan pusat Kota Wellington. Pantai ini terhampar cantik dengan latar belakang Gunung Victoria yang berdiri gagah.

Lia turun dari mobil seraya mengenakan kacamata hitamnya. Setelah itu ia dan sang Bunda berjalan memasuki sebuah kafe untuk memesan minuman hangat. Saat ini sedang musim gugur di belahan bumi bagian selatan.

"Bunda nggak khawatir mereka bakal narik perhatian masyarakat lokal?" tanya Lia pada Jihana seraya menatap ke luar jendela kafe.

Jihana ikut menoleh. "Kamu nggak perlu khawatir. Mereka udah Bunda suruh buat tampil senatural mungkin biar bisa membaur sama masyarakat. Orang-orang sini pasti ngiranya mereka itu turis yang lagi liburan. Nggak lebih."

Hal yang dimaksud Lia adalah para pengawal keluarganya. Ketika sedang bertugas, mereka biasanya mengenakan setelan serba hitam. Namun kali ini, seperti yang dikatakan Jihana, mereka telah diperintahkan untuk mengenakan pakaian yang lebih 'merakyat'. Sekilas mereka memang lebih seperti turis yang sedang berlibur. Tapi tetap saja. Jumlah mereka yang tidak sedikit pastilah sanggup menyita atensi masyarakat setempat.

"Selamat pagi, Nyonya Jihana, Nona Julia."

Lia dan Jihana serempak menoleh. Mereka tersenyum begitu mendapati seorang pemuda berusia sekitar akhir 20-an mendekati mereka. Dia Richard, asisten pribadi untuk Lia dan bundanya.

"Pagi, Richard," balas Lia.

"Pagi juga, Richard. Bagaimana hasilnya?" kata Jihana.

"Positif, Ma'am. Data itu cocok. FBI dan CIA mengonfirmasi bahwa orang yang terduga itu memanglah Tuan Alexander Rosephatt."

ABBLS | #3 I.J.U.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang