» 30 • Yang Tak Terucap

370 45 8
                                    

Rombongan duka itu akhirnya tiba di area pemakaman. Pintu ambulans segera dibuka. Dibantu petugas rumah sakit, Juna dan keluarganya yang ikut di dalam mobil pun mengeluarkan jenazah Jelita.

Aiden, Raul, Hilmi, dan Javier dengan sigap menerima uluran keranda dari petugas rumah sakit. Juna, Ilham, Pandu, dan Abi lantas memanggul keranda tersebut di pundak mereka. Asta, Hanafi, Fathan, Lanang, dan Hendra mendekat membantu menyeimbangkan. Nadine mendampingi sang Mama dari samping kerandanya. Sementara Lia, Aruni, Ayu, Prima, Yola, Karin, dan Giselle berbaris di belakangnya dengan membawa keranjang bunga.

"Lo yakin mau manggul kerandanya, Jun?" tanya Javier memastikan.

"Muka lo pucet banget, Jun. Biar gue aja sini yang manggul!" sahut Hilmi khawatir.

Juna menggeleng pelan. "Nggak usah nggak pa-pa. Gue bisa."

"Gue harap lo ngomong yang sejujur-jujurnya," kata Raul.

Juna mengangguk. "Gue jujur. Gue bisa manggulnya."

"Gue harap emang gitu," Aiden menepuk-nepuk punggung Juna. "Kalo nggak kuat buruan bilang! Gue siap buat gantiin lo."

"Thanks, Bang."

Sore itu, di bawah siraman cahaya senja, Juna beserta papa dan saudaranya bekerjasama memanggul keranda untuk mengantarkan Jelita ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Rombongan duka itu berjalan menuju sebuah lahan yang tanahnya baru saja digali. Lubang menganga lebar dengan bentuk persegi panjang. Terdapat pula para tukang bersiap di pinggirannya dengan cangkul di tangan mereka.

Proses pemakaman pun segera dilakukan. Juna, Pandu, dan Abi turun langsung ke liang lahat. Ilham dibantu oleh Raul dan Hilmi membuka penutup keranda. Aiden, Javier, Asta, Hanafi, Fathan, Lanang, dan Hendra menggotong jenazah Jelita dengan hati-hati. Ketiga putra Dewantara pun bersiap di dalam tanah sana. Mereka menerima tubuh sang Mama yang telah dibalut kain kafan.

Ketiga putra Dewantara itu meletakkan jenazah Jelita dengan sangat hati-hati, seolah takut akan melukai sang Mama. Pandu di bagian kepala, Juna di bagian tengah badan, dan Abi di bagian kaki. Mereka dibimbing oleh seorang ahli kubur. Jenazah Jelita dibaringkan di dasar tanah dengan menghadap arah kiblat.

"Kamu yang adzan, Juna."

Juna mendongak ke arah belakang. Netranya langsung bertemu dengan milik Ilham. Kening cowok itu berkerut.

"Kenapa bukan Papa?"

"Kamu yang paling banyak menghabiskan waktu dengan Mama di antara kita semua. Kamu berhak untuk ini," jawab Ilham.

Juna melirik ke arah Pandu dan Abi, lantas mendongak menatap Nadine yang ada di atas. Ketiganya mengangguk. Juna lantas menarik napas dalam-dalam. Cowok itu membungkuk sedikit. Wajahnya tepat berada di hadapan telinga Jelita.

Juna mengumandangkan adzan. Irama syahdu itu mengalun lembut dari telinga ke telinga. Suasana seketika berubah hening. Atmosfer pilu terasa semakin pekat saat suara Juna semakin lama semakin serak. Cowok itu menahan tangisnya.
Bibir Juna bergetar begitu ia selesai mengumandangkan adzan. Wajah cowok itu semakin mendekat. Juna mengecup pipi Jelita untuk terakhir kalinya dari balik kain kafan dengan penuh ketulusan. Setetes air mata lolos dari pelupuk matanya.

Makasih udah jadi mama yang hebat buat Juna. Selamat beristirahat. Tolong terus dampingi langkah Juna dari atas sana, ya, Ma? Juna sayang Mama.

🌹🌹🌹

Lia terus berada di sisi Juna, tak meninggalkannya barang semili. Tangan kirinya memeluk tangan kanan Juna, mengusap-usapnya, mencoba memberikan kekuatan pada cowok itu. Juna sejak tadi hanya diam, tapi Lia tahu, sangat amat tahu. Kedua bola mata Juna tak dapat berbohong untuk menunjukkan seberapa kehilangannya dia saat ini.

ABBLS | #3 I.J.U.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang