Happy Readding💙
Aku rindu si pengganggu di setiap hariku. Sangat menyebalkan namun mudah untuk di rindukan kehadirannya.
-Infinity
Tidak seperti biasanya seorang Lavanya Carolyn murung hari ini. Dia tampak seperti mayat hidup. Wajahnya terlihat sangat kusut dan datar, serta terlihat begitu lesu.
"Muka lo kusut amat!" tegur Via menyenggol bahu kiri Vanya.
"Lagi enggak mood gue," sahut Vanya dan dia kembali menatap layar ponselnya.
"Lo liatin terus tuh hp enggak bakal berubah jadi kucing Lavanya," cibir Mona yang meggeserkan kursi yang ada di samping Vanya.
"Lo kusut gini, karena Arca enggak masuk sekolah?" Pertanyaan Via sontak membuat Vanya menoleh padanya.
"Dia kemanasih? Enggak biasanya ngilang kaya gini." Vanya berdecak kesal sambil memutar bola matanya malas.
"Mungkin dia sibuk kali Nya," sahut Mona.
"Iya. Siapa tau dia lagi ada acara di rumahnya," timpal Via.
Vanya menopang dagunya menatap lurus ke depan. "Tapi kan, dia bisa kabarin gue dulu, kalo misal dia enggak bakal masuk sekolah. Kalo gini gue jadi khawatir sama dia," ucapnya.
"What?! Lo khawatir sama dia?" sungut Via kemudian dia menutup mulut dengan kedua tangannya.
"Enggak gitu." elak Vanya.
"Lo suka sama Arca kan?" Mona menaik turunkan alisnya.
Vanya menggelengkan kepalanya kuat. "Enggak," ucapnya penuh ketegasan. Mungkin, kedua sahabatnya tau, jika dirinya sekarang sedang berbohong.
Via tersenyum menyungging. "Hati lo berkata iya, tapi mulut lo berkata enggak. tatapan mata lo enggak bisa bohong Lavanya," ucapnya.
Benar sekali. Via seolah tau isi hati Vanya. Namun mau bagaimana lagi bukan? Vanya terlalu takut untuk mengakui bahwa dirinya menyukai Arca.
"Enggak usah bohong sama kita. Kasian hati lo, selalu di bohongin sama lo kaya gini." Mona menepuk pundak Vanya. "Setidaknya lo bisa jujur sama kita, dengan begitu hati lo pasti sedit lega,"
Vanya tersenyum simpul, dia menatap kedua temannya. "Thanks, kalian selalu ngertiin gue, tanpa gue bilang apapun," ucapnya.
"Lo kenapa enggak coba bilang ke Arca aja," ucap Via.
"Gue enggak mau kehilangan dia." Ucap vanya tegas.
"Lo terlalu takut kehilangan Vanya, apa salahnya mencoba, siapa tau Arca juga suka sama lo." kekeh Via.
"Gue takut, setelah gue bilang sama dia, dia bakalan jauh dari gue buat selama-lamanya," ucap Vanya dengan sendu.
"Lo takut dia enggak punya perasaan yang sama?" Mona kini ikut bertanya. Sedari yadi dia hanya mendengarkan kedua sahabatnya saja.
"Bukan."
"Terus?" Mona mengerutkan keningnya.
"Gue takut dia kecewa sama gue, karena gue punya perasaan lebih sama dia. Gue takut dia jadi benci gue." ungkap Vanya.
Yang selalu ada di dalam kepala Vanya, memang benar. Dia takut, Arca merasa kecewa karena pertemanan yang mereka jalani, terbebani oleh perasaannya yang tumbuh.
"Sulit kalo masalah friendzone," cibir Via.
"Terus tau-tau keduanya, sama-sama punya perasaan yang sama." Sahut Mona.
"Enggak mungkin. Dia anggap gue cuma sekedar teman," kekeh Vanya.
"Tapi Nya, yang gue lihat. Arca cuma care sama lo," ucap Mona.
"Iya, bener banget. Dia tuh galak tapi protektif sama lo!" Via kembali angkat bicara.
"Aaaaaaaaaa,, jadi bikin gue pusing. Tau ahhh!" Vanya mengusap wajahnya frustasi. Sungguh masalah perihal hati membuatnya seketika menjadi bodoh.
"Orang sepinter lo, kalo soal cinta pasti jadi bodoh juga ya." Mona tertawa melihat ekspresi wajahnya Vanya. Dia terlihat snagat frustasi, seperti dirinya ketika mengisi soal matematika.
"Udah enggak usah bahas ini lagi," ucap Vanya. Dia membuka buku catatannya dan mulai menuliskan sesuatu di sana.
Via dan Mona menatap Lavanya kebingungan. Bagaimana tidak? Bukankah dia sedang merasa frustasi? Lalu kenapa dirinya malah mengerjakan soal Matematika?
Shitttt!!! Lavanya memang orang yang sangat aneh. Sedang frustasi makah mengerjakan soal matematika, jika manusia lain mungkin mereka akan tambah frustasi.
"Anjirr, kenapa lo malah ngisi soal matematika?!" Via menyernyitkan keningnya.
"Buar gue bisa tenang," sahut Vanya tanpa menoleh kedua temannya.
"Yang ada makin frustasi anjirr!!" sungut Via.
"Akhirnya selesai!" Vanya menyimpan kembali bolpoinnya di samping buku catatan.
"Lima belas menit lo selesai ngerjain ginian?" Mona membukatkan matanya ketika melihat hasil pengerjaan sahabatnya.
"Abis gue pusing banget mikirin soal perasaan gue. Mending gue ngisi soal matematika lah." sahut Vanya.
"Serah lo deh! Orang pinter mah beda!" ucap Via.
"Lo ngisi soal apaansih Nya?" tanya Mona, "ini materi apaan?"
"Imflicit differentation," jawab Vanya.
"Turunan ya?" tanya Mona memastikan.
"Iya, itu lo tau,"
"Tau,cuma enggak ngerti cara ngerjainnya," balas Mona.
"Lo bego sih! Wajar aja enggak paham," celetuk Via.
"Lo juga bego anjir," sahut Mona kesal.
Vanya menepuk jidatnya. Kenapa kedua sahabatnya malah berdebat? Haduhh! Ada-ada saja mereka.
"Kenapa jadi pada ribut sih?!" Vanya berdecak kesal
"Gara-gara lo!" Seru Mona.
"Lahhh, kok gue?!" Vanya sontak tersentak kaget. Kenapa jadi salah dirinya? Mereka yang berdebat kenapa jadi dia yang salah.
"Udahlah, intinya lo pinter banget soal matematika. Tapi lo bodoh banget soal cinta." tegas Via.
Tepat sekali. Perkataan Via benar-benar seratus persen benar. Yaa, Vanya juga merasa demikian. Kenapa ya, dia begitu bodoh soal cinta? Menurutnya, cinta sangat sulit di pahami.
Note :
Part ini kayaknya pendek banget ya😢
Hmm abis gue bingung mau nulis apaan lagiSo, kasih gue semangat yaaa gaisssssss. Hehehehhehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Infinity [TERBIT]
Teen Fiction"Kita layaknya bilangan tak hingga di bagi dengan bilangan tak hingga maka hasilnya adalah bilangan tak pasti" -Infinity Layaknya bilangan tak hingga kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi. Tidak pernah tau akan bertemu siapa dan jatuh cinta pa...