Jaemin berjalan lunglai, membuka knop pintunya. Ia gagal lagi, rasanya ia malu untuk pulang ke rumah karena masih belum berhasil menyelamatkan satu lagi nyawa yang melayang di sekolah itu sebagai korban kedelapan.
Jaemin sangat menyukai pekerjaan ini―jika itu berarti ia bisa berguna bagi orang lain. Tapi untuk misi yang kali ini, ia kecewa pada dirinya sendiri.
Pemandangan yang terlihat di rumah rumah ini masih saja sama. Ruangan sempit yang hanya dilengkapi satu kamar tidur, satu kamar mandi dan satu ruangan kecil yang ia anggap sebagai ruang santai. Beberapa kardus berisi barang yang tersimpan acak, sebuah lemari kecil dan dapur ala kadarnya.
Setiap Jaemin pulang, barang-barang selalu berantakan.
Dan Jaemin tau siapa penyebabnya.
Ia mendatangi seorang gadis yang meringkuk di balik selimut tebalnya. Jaemin mengambil tempat untuk duduk di dekat si gadis tersebut.
"Hanbi..."
Tidak ada Jawaban.
"Jeno hyung menitipkan sebuah lilin aromaterapi beraroma vanila untukmu. Bukankah kau sangat menyukainya?"
Jaemin sejatinya sudah menduga, bahwa Hanbi masih akan tetap bungkam. Entah sampai kapan. Jaemin hanya pasrah seakan terbiasa, kemudian meletakkan benda itu di atas laci kecil di dekat situ.
"Hanbi-ya, aku gagal lagi. Satu nyawa berakhir lagi malam tadi. Ia seorang gadis, dan terlihat menyedihkan ketika kutemukan. Melihatnya... membuatku teringat padamu. Karena itu aku merasa harus menyelesaikan semua ini. Doakan aku ya?"
Ini adalah salah satu kebiasaan Jaemin. Setiap ia pulang, maka ia akan bercerita kepada Hanbi. Meski ia tau, Hanbi tidak akan menggubrisnya. Hanya saja, Jaemin selalu percaya, bahwa Hanbi setidaknya selalu menjadi pendengar terbaik yang pernah ada dalam hidupnya.
***
Kepenatan perlahan-lahan mulai merambah jiwa seorang Mark. Ia yang awalnya berkobar akan semangat, untuk mengambil misi ini―dengan menggunakan titahnya sebagai ketua tim―rasanya sudah mulai minim ambisi. Meski begitu, sampai kapanpun, seletih apapun, dan seberesiko apapun misi ini, Mark masih bersikeras untuk tidak menyerah.
Karena baginya, menyerah berarti kalah. Mark tidak ingin kalah―baik kalah terhadap pembunuh itu, maupun kalah akan rasa sesak yang menghantam dadanya. Rasa sesak yang mungkin tidak akan sembuh selagi pembunuh itu berhasil ia tangkap. Dan selama itu pula, Mark akan terus membenci dirinya sendiri.
Tiada yang paham, bahwa Mark yang berubah jadi ambisius, sebenarnya adalah Mark yang mencoba menarik keras air matanya agar tidak luruh.
Ia berjalan lunglai di sebuah jembatan penghubung gedung rumah sakit―seusai menengok keadaan Winwin yang sepertinya masih belum bisa ditanyai macam-macam. Mark mendengus pasrah, menghentikan langkahnya, dan berputar mencondongkan tubuhnya kedepan, membuat tubuhnya bertumpu pada besi pagar. Tak lama, Ia mengeluarkan sebuah lonceng bulat berukuran kecil, berwarna hitam dari dalam sakunya,
Kring... kring... kring...
Mark tersenyum, sangat-amat tipis. Ada sebuah perandaian di dalam benaknya,
Waktu itu... Andai saja, bunyi loncengnya bisa menjumpai runguku...
Tak lama setelah itu, Mark merasakan presensi seseorang di sampingnya. Orang itu mengenakan topi hitam yang hampir menutupi matanya.
"Ahran, kau disini juga."
Ahran tidak menyapa, tidak pula menoleh, ia hanya diam sembari kemudian tatapnya terkunci pada lonceng yang di pegang oleh Mark. Membuat Mark tidak tau harus berlaku apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
DISGUISE [NCT Ver] ✔
Mystery / ThrillerApa jadinya jikalau detektif berusia 23 tahun, ditugaskan untuk kembali menjadi bocah Sekolah Menengah Atas? Hal ini dikarenakan sebuah misi rahasia, dengan tujuan menangkap pembunuh siswa berantai dalam suatu sekolah. Inilah mereka, para detektif j...