Mark berjalan mendekat. Ia disambut oleh Jeno yang tersenyum lirih padanya. Dasar. Kenapa si bodoh itu masih bisa-bisanya tersenyum?
Mark mengambil kursi dan duduk di sebelah Jeno. Banyak sekali alat-alat medis yang Mark tidak tau pasti istilahnya menancap di tubuh Jeno. Sehingga Mark enggan bergerak bebas karena takut menyenggol dan merusak salah satunya.
Mark sejujurnya sudah menangis dari tadi--didalam hatinya. Dan jauh dari lubuk perasaannya, ia tidak ingin menemui Jeno yang seperti ini. Ia tidak sanggup. Ia tidak tega.
Namun Mark lekas sadar, bahwa ia harus segera mengatakan sesuatu.
"Ba-bagaimana?"
Ingin sekali Mark menghantukkan kepalanya ke dinding atas kebodohan yang baru saja ia katakan. Untuk apa ia menanyakan hal yang menyakitkan seperti itu?
"Bagaimana Kondisiku?" Jeno hanya terkekeh. "Yah, mana ada orang yang baik-baik saja, saat tau dia akan mati 'kan?"
Suara sayup Jeno yang pelan dan berbeda dari dia yang biasanya sehat dan lantang membuat hati kecil Mark semakin sakit. Mark tidak tau harus mengatakan apa lagi. Ia bahkan tidak bisa menghibur Jeno dengan kalimat semacam 'kau akan baik-baik saja', karena itu sama saja memberinya harapan yang mustahil.
"Aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi hyung. Hanya mampu menggerakkan mulut dan bola mata saja."
Hentikan bodoh... ujar Mark dalam hati. Ia sungguh tidak tahan. Ia sudah bertekad untuk tidak menangis.
Mark bergerak kikuk untuk mengenggam tangan Jeno yang di infus. Jeno menatap tangannya sendiri pula. Dan Mark baru menyadari, akan sederet huruf yang tertulis dengan spidol disana.
"Hyung, aku... korban kesepuluh. Dan yang itu adalah kodenya. Huruf terakhir L-S-U, kali ini dia tidak menggunakan angka lagi." Entah ini perasaan Mark saja atau memang suara Jeno semakin lama semain mengecil. "Kuharap aku adalah yang terakhir."
Ini tidak benar. Mark masuk kesini untuk bicara banyak hal pada Jeno, tapi kenapa malah Jeno yang bicara lebih banyak sedangkan dirinya hanya mampu diam? Mark takut membuka mulut. Takut bicara dan akan membuat perasaan Jeno hancur.
"Jeno-ya, aku--"
"Hyung!" potong Jeno. "Aku belum minta maaf karena sudah meninjumu waktu itu."
Mark sedikit merendahkan bahunya. "Aku pantas mendapatkannya Jeno. Sudahlah."
Jeno memandang wajah Mark dengan dalam. Terdapat ratusan bahkan ribuan penyesalan disana. Tercetak guratan yang seakan berkata bahwa ia begitu membenci dirinya sendiri. Dan itu membuat Jeno kasihan.
"Aku... sempat melakukan banyak hal hyung." Jeno tersenyum bangga sambil menatap Mark, berusaha mengubah suasana.
"Aku memasang kamera pengintai di koridor kelas 12, kalian bisa memancingnya kesana. Dan aku juga sudah mengumpulkan banyak bukti terkait pembunuh itu. Semuanya ada di ponselku. Aku sempat memindahkannya dari flashdisk ku dan sengaja meninggalkannya di toko buku agar Renjun mengambilnya. Jadi meskipun flashdisk-ku sudah diambil brengsek itu, file nya masih ada di ponsel."
Mark memandang Jeno takjub. "Kau tidak perlu sampai seperti itu."
"Hyung..." Jeno berusaha tidak mengindahkan kalimat Mark sebelumnya. "Aku... tau siapa pembunuhnya. Tapi tidak seru 'kan kalo aku langsung beritahu. Aku sudah meninggalkan banyak petunjuk."
Mark memandang tak percaya. "Kau serius?"
"Malam itu, seusai menjagamu dirumah sakit. Aku keluar. Winwin menelefonku untuk menemuinya. Dia menceritakan semuanya. Dan dia juga sudah siap menjadi saksi. Yang perlu aku lakukan hanyalah mencari bukti tambahan. Pembunuh itu sepertinya juga sudah tau kalau aku mengetahui semuanya. Karena itu ia mengincarku."
KAMU SEDANG MEMBACA
DISGUISE [NCT Ver] ✔
Mystery / ThrillerApa jadinya jikalau detektif berusia 23 tahun, ditugaskan untuk kembali menjadi bocah Sekolah Menengah Atas? Hal ini dikarenakan sebuah misi rahasia, dengan tujuan menangkap pembunuh siswa berantai dalam suatu sekolah. Inilah mereka, para detektif j...