Sakura berdiri di tengah lapangan. Matanya sibuk menyapu sekeliling. Napasnya tersengal, hasil dari berlari ke sana kemari selama hampir setengah jam. Keringat mengalir deras di pelipisnya membasahi kerah bajunya yang sudah lepek. Ia merasakan kemarahan mulai menjalar, seperti api kecil yang perlahan-lahan membesar di dalam dadanya.
"Ke mana mereka pergi?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Ia sudah mencari di dekat tribun, di belakang gawang, bahkan di dekat warung kecil di pojok lapangan. Tapi jejak kelompoknya tak juga ditemukan.
Dengan tangan terkepal dan rahang mengeras, Sakura berjalan lagi, kali ini ke arah tengah lapangan. Setiap langkah terasa lebih berat, seolah frustasi dan kelelahan berpadu menjadi beban tak kasatmata yang menekan pundaknya.
Di tengah lapangan yang luas, ia berhenti sejenak. Ia melihat sekelompok orang berkumpul di kejauhan, tapi harapan yang sempat muncul seketika pupus saat menyadari itu bukan kelompoknya. "Ini tidak mungkin," pikirnya, "mereka bilang akan menunggu di sini."
Kemarahan Sakura akhirnya mencapai puncaknya. Ia meraih ponselnya, berusaha menelepon salah satu anggota kelompok, tapi hanya mendapatkan nada sambung yang panjang dan tak berujung. "Kenapa sekarang semua orang sulit dihubungi?" pekiknya, suaranya menggema di tengah lapangan yang kini terasa begitu sepi dan asing.
Ia duduk di rumput, mencoba menenangkan diri. Tapi pikirannya terus berputar, mengulang-ulang kejadian pagi itu saat mereka semua sepakat untuk berkumpul di sini. Rasa kesal dan cemas bercampur menjadi satu, membuat waktu terasa semakin lambat.
Sambil menatap langit yang mulai berubah warna, matahari yang semakin panas membakar kulit Sakura.
Saat Sakura masih terduduk di rumput, suara langkah kaki terdengar mendekat. Ia mendongak dan melihat Kotoha, salah satu anggota kelompoknya, berlari kecil ke arahnya. Wajahnya memerah dan napasnya tersengal, jelas ia juga sudah berusaha mencari Sakura.
"Sakura! Maaf, kami terlambat," ujar Kotoha dengan nada terburu-buru, sambil berusaha mengatur nafasnya. "Kami ada di belakang tribun, tadi ada masalah sedikit."
Sakura menatap Kotoha dengan campuran lega dan kesal. "Kalian di belakang tribun? Aku sudah mencari kesana," jawabnya dengan nada masih tinggi.
Kotoha mengangguk, terlihat menyesal. "Iya, kami pindah ke sana karena tempat awal penuh. Tapi kami seharusnya memberitahumu lebih cepat. Maafkan kami."
Sebelum Sakura sempat menjawab, beberapa anggota kelompok lainnya muncul dari arah tribun, berjalan cepat menuju mereka. Semuanya tampak lelah dan sedikit cemas melihat ekspresi wajah Sakura.
"Hei, Sakura," sapa Nirei, salah satu anggota kelompok, "maafkan keterlambatan kami. Kami benar-benar tidak menyangka akan ada masalah tadi."
Sakura menghela napas panjang, mencoba meredakan kemarahannya. "Ya sudahlah, yang penting kalian akhirnya muncul," katanya sambil berdiri. "Tapi lain kali, tolong lebih koordinatif. Aku sudah kelelahan mencari kalian."
Semua anggota kelompok mengangguk setuju, merasa bersalah atas ketidaknyamanan yang terjadi. "Pasti, kami akan lebih baik lagi,"sahut Hiragi dengan tegas. "Sekarang mari kita lanjutkan rencana kita. Banyak yang harus kita kerjakan."
Sakura melirik ke arah Hiragi selaku ketua di tim mereka. Rasa kesal kini mulai muncul dihati Sakura. Ia berteriak menyumpah serapahi Hiragi, setidaknya ucapkan maaf kepadanya karena membuat Sakura menunggu lama. Begitulah isi hati Sakura.
Sakura menghela nafas untuk menetralkan emosi di dadanya. Ia tidak mau mengundang rasa penasaran teman-temannya yang akan mengancam program kerja mereka nantinya.
Mereka semua kemudian berjalan bersama, meninggalkan lapangan dan menuju tempat yang sudah mereka sepakati. Meskipun hari itu dimulai dengan kekesalan, Sakura merasa ada pelajaran penting yang bisa mereka ambil untuk kedepannya.
Setelah berkumpul dan memastikan semua anggota hadir, Sakura dan kelompoknya segera menuju parkiran di mana kendaraan mereka diparkir. Sebuah minibus sudah siap mengantar mereka ke desa tempat mereka akan melakukan KKN.
"Semuanya sudah siap?" tanya Hiragi memastikan, sambil memandang setiap anggota kelompok yang sibuk memasukkan barang-barang mereka ke bagasi minibus.
Suo, yang bertugas memeriksa perlengkapan, mengangguk. "Sudah, semua peralatan dan barang-barang kita sudah masuk."
Kotoha memegang daftar periksa dan menghitung anggota kelompok. "Semuanya lengkap. Kita bisa berangkat sekarang," ujarnya sambil tersenyum, mencoba mengembalikan semangat yang sempat pudar.
Mereka semua naik ke dalam minibus, mengambil tempat duduk masing-masing. Suasana di dalam kendaraan sedikit tegang, sisa dari kekacauan yang baru saja mereka alami, namun ada semangat yang mulai tumbuh. Mereka semua tahu bahwa tantangan sebenarnya baru akan dimulai di desa nanti.
Mesin minibus dinyalakan dan perlahan kendaraan itu bergerak meninggalkan lapangan. Sakura duduk di depan, di samping sopir. Sementara yang lain berbincang-bincang di belakang, mencoba mengalihkan pikiran mereka dari kejadian tadi.
Perjalanan menuju desa memakan waktu beberapa jam. Pemandangan kota yang ramai perlahan berganti dengan hamparan sawah hijau dan perbukitan yang sejuk. Semakin jauh mereka melaju, semakin mereka merasa lega dan bersemangat menghadapi tugas yang menanti.
"Semoga di desa nanti kita bisa bekerja sama lebih baik," kata Kotoha, yang duduk di bangku tengah sambil menatap keluar jendela.
Sakura menoleh dan tersenyum. "Pasti bisa. Kita semua belajar dari kejadian ini. Yang penting sekarang, kita fokus dan memberikan yang terbaik untuk desa tersebut."
Seluruh anggota kelompok mengangguk setuju. Dengan semangat baru, mereka melanjutkan perjalanan menuju desa yang akan menjadi tempat mereka mengabdi selama beberapa minggu kedepan, siap menghadapi tantangan dan petualangan baru dalam program KKN mereka.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Aku, Kamu dan Desa [✔️]
Fanfiction⚠️YAOI⚠️ - Karakter milik Satoru Nii-sensei - Out of Character - BL/bxb/yaoi - Fanfiction - R13+ Summary: Togame mengingat setiap momen indah yang mereka habiskan bersama dan merindukan kehadirannya setiap detik. Setiap malam, Togame menghabiskan...