Pasar malam

31 4 4
                                    

Happy reading :b

***

Keluarga yang satu, rumah nyaman dan ramai, teman-teman kembali, semua itu Rea butuhkan saat ini dan sampai kapan pun. Rea butuh penopang agar bahunya kokoh dan tetap berdiri di dunia ini yang terasa memusuhi. Rea berusaha tegar tapi kalau ia terus-menerus sendiri, suatu saat ia akan jatuh juga. Rea tidak tahu sampai kapan ia harus terus percaya jika suatu hari Papa, Mama, Abang semua orang itu akan kembali. Rea percaya pada hal yang mustahil. Terlalu kejam untuk mengatakannya begitu. Namun Rea sedang berdiri di ujung tebing, sendirian dan kedinginan tanpa sesuatu yang hangat.

"Ikut gue." Sehan menariknya. Menggenggam tangannya dan berjalan memimpin entah kemana.

Mereka datang ke taman belakang lagi. Tempat yang selalu sepi karena orang lain jarang ke sana. Sehan menekan pundak Rea duduk di kursi besi berwarna putih.

"Kenapa harus ke tempat ini lagi? Gak ada tempat lain apa? Yang lebih romantis gitu." Rea terkekeh atas ucapannya sendiri.

"Gue harus banyak belajar sama lo. Tertawa untuk menutupi luka yang menganga lebar itu sulit," ujar Sehan tanpa menunjukan ekspresi apapun.

Rea mendatarkan wajahnya. "Pertanyaan gue butuh jawaban."

"Karena lo butuh tempat yang seperti ini, gak ramai seperti tadi. Kadang setiap orang memerlukan tempat yang sepi untuk memberi ruang pada hati dan pikirannya," jawab Sehan.

"Terima kasih, Sehan. Bisa-bisanya lo masih perduli sama gue tanpa pikirin rumor lo yang masih melayang bebas." Kepala Rea di tundukkan. Memainkan jari-jarinya.

"Rumor gue perlahan hilang Rea. Rumor itu berawal dari lo, tapi lo juga yang hilangin sedikit demi sedikit," ujar Sehan. Nadanya sudah sangat malas membahas itu.

"Syukurlah," balas Rea.

"Gue kesepian, Han. Temen-temen gue—"

"Jangan mudah tertipu. Mereka menjauh hanya untuk sementara, sampai hari spesial lo tiba." Jika nanti kejutan dari Indy, Lana dan Evelyn tidak berjalan lancar maka Sehan penyebabnya. Sehan menghancurkannya. Ia di ikut sertakan dalam kejutan Rea tapi ia malah membeberkannya.

Rea melongo. Ia lalu bertepuk tangan dengan bangga. "Susah buat gak ngehujat lo, Han. Lo terlalu... Goblok tapi terima kasih."

Sehan tersenyum simpul. Ia juga tahu apa yang ia lakukan terlalu payah. Tapi sebenarnya Sehan hanya tidak nyaman melihat Rea yang kebanyakan sedihnya hari ini. Rea yang tengil dari sudut mana pun itu lebih baik dari pada seharian diam dengan menyimpan kesedihan.

Gue belajar untuk pinter, tapi di hadapan lo kepintaran gak di butuhin. Gue rela jadi orang bodoh asal lo gak sedih lagi Rea. Batin Sehan.

"Gue aja lupa sama hari spesial gue apalagi Papa Mama gue." Rea tersenyum kecut.

"Pikirin yang deket dulu, abis itu yang jauh," ujar Sehan.

Rea menoleh menatap wajahnya. "Itu berarti gue harus pikirin lo dulu karena lo paling dekat saat ini. So, lo mau ngasih gue apa nanti?"

"Kata terakhir lo," ujar Sehan.

"Nanti?"

"Iya, tunggu aja."

***

Sehan berlari turun ke lantai bawah dengan jaket berada di pundaknya dan kunci mobil sudah berada di genggaman. Ia baru saja pulang dari suatu tempat dan akan beristirahat tapi Rea mengirim pesan yang mengatakan bila saat ini ia sedang menunggunya di gerbang rumahnya. Saat ia membuka gerbang, wajah ceria Rea menyapa khas dengan lembaian tangannya.

Just Stay For ReaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang