Bab 2 Takdir Kita

788 61 4
                                    

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).

              ***
Yogyakarta, 2008

Yuda merasa pipinya mendapat tepukan yang keras, hingga rasa panas mulai menjalar. Saat membuka mata, dilihat sang mama tepat berdiri di samping ranjang. Mata yang masih sulit membuka sempurna itu terpaksa harus menahan rasa pedas. Lelaki 26 tahun itu memang belum ada tiga jam mengistirahatkan tubuh.

"Aduh ... sakit, Ma, ada apa sih? Aku barusan aja merem. Aku mau tidur lagi, ah." Gerutu Yuda sambil merapikan selimut. Kemudian meraba pipinya yang terasa panas.

"Yuda, anakmu demam. Kalila sakit, Nak. Dia rewel terus sejak sore tadi. Kita ke dokter pagi ini. Ibu takut, Yuda." Suara Rini pelan, meski panik dia bisa bersikap tenang. Tangannya sembari menarik selimut.

Sambil membuang napas kasar, Yuda bangkit. Mengembalikan kesadaran dari sisa bawah sadarnya. Namun, mata itu terasa berat untuk membuka.

"Ma, emang nggak punya obat turun panas? Aku masih ngantuk banget. Atau agak siangan ke dokter." Alasan Yuda dengan mulut menguap lebar.

"Yuda! Kamu itu ayahnya! Kalau nggak mau antar, Mama mau telpon pak RT aja. Udah, Mama tunggu cepat!" Rini menghela napas panjang. Hati perempuan itu menatap pilu dengan kondisi putra semata wayangnya.

Walau secara langsung Yuda tidak menyatakan menyesal memiliki Kalila, tetapi dari sikapnya perempuan itu bisa menyimpulkan yang sebaliknya. Dalam meniti hari dapat dihitung dengan jari Yuda menyempatkan bersama dengan Kalila. Semenjak lahir sampai di usia dua tahun. Bocah cantik itu lebih dekat dengan eyangnya.

Buah cintanya yang terlahir dari istri yang begitu dicinta. Bahtera yang baru seumur jagung itu pudar tanpa cahaya saat Sang Khaliq memanggil Amelia. Perempuan yang memiliki riwayat penyakit TBC dan harus kehilangan satu paru-parunya.

Yuda sangat terpukul bahkan terus menerus menyalahkan diri sendiri. Menyadari keteledorannya dan berdampak pada kehamilan Amelia. Usul untuk menguguran kandungan ditolak mentah-mentah oleh istrinya, walau dengan alasan kesehatan. Sejak itulah Amelia mulai menunjukkan gejala kurang sehat. Sementara Yuda dilanda kecemasan, hingga detik-detik operasi caesar dan Amelia mengembuskan napas yang terakhir.

"Yuda, kamu nggak turun?" Rini menoleh pada Yuda yang bergeming di belakang kemudi. Mobil sudah berhenti di parkiran RS Ibu dan Anak.

"Ma ... yang paham Lila sakit, kan Mama," elak Yuda tanpa menatap Kalila dalam dekap eyangnya.

"Kalau kamu mencintai ibu bocah ini, kamu juga harus mencintainya. Ini darah dagingmu, Yuda. Jangan sampai kamu nyesal. Almarhumah istrimu tahu betul kamu belum ikhlas. Udah ... Mama mau turun." Rini ngambil tas baby kemudian turun ditemani asisten rumah tangga, Mbak Parmi.

Setengah jam berlalu, Yuda berada di mobil. Menurutnya sama saja dia ikut memeriksakan atau tidak. Kesehariaannya Kalila juga dengan eyangnya.

Mengurai rasa bosan dia mengambil ponselnya. Namun, tak ada satu pun aplikasi yang menarik. Rasa kantuk yang tadi masih terasa kembali menyerang. Dia menyandarkan badan dengan kepala menempel pada bantalan kursi mobil.

"Mas ... Mas marah sama aku? Maaf kalau buat Mas marah ... Kalila buah cinta kita, Mas. Aku bahagia melahirkannya. Mas harusnya juga bahagia. Jangan pernah kamu biarkan Kalila tumbuh tanpa kasih sayangmu. Percayalah ... Mas pasti bisa melewati semuanya tanpa aku. Kamu adalah suami terbaik, Mas. Ayo ... temani mama di IGD. Mungkin anakmu kangen sama ayahnya. Mas ... ayo bangun!" Suara Amelia begitu lekat di telinga Yuda.

SUAMI TERBAIK  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang