Kalila berada di pangkuan Lia dengan mata terpejam, tetapi sedikit membuka. Sesekali terdengar rintihan, karena kepalanya sakit dan pening. Suhu tubuhnya yang kembali demam jelas membuat keadaan bocah yang biasanya ceria itu tidak nyaman.
"Om dokter Tio pergi ya, Ayah?" Kalila bertanya perihal dokter langganan mereka.
"Iya, Sayang. Om dokter pergi dari kemarin, jadi kita ke rumah sakit aja." Yuda menoleh sebentar. Sesekali menutup mulut karena batuk-batuk.
Lia ingin bertanya kondisi Yuda yang belum sembuh benar. Namun, bibirnya terkatup karena menyadari bila dia bukan siapa-siapanya Yuda. Rasa kasihan muncul begitu saja bersamaan dengan Kalila yang juga ikut sakit.
"Mama ... kepala Kal, pusing."
"Iya, Sayang. Kita mau periksa sekarang, ya. Perutnya masih sakit nggak?" tanya Lia sambil mengusap-usap lembut punggung Kalila.
"Dikit. Kal ... nggak sekolah, ya Ma," kata Kalila masih dengan mata setengah terpejam. Sesungguhnya dia masih ingin tidur di atas ranjang sembari ditemani ayah dan 'mama'.
"Sakit masa sekolah, Nak? Mama nanti minta izin ke bu guru, ya. Kal harus sehat dulu. Bu guru juga nggak bolehin ke sekolah kalau sakit." Lia mencium dahi Kalila lembut. Ada yang mengalir hangat dalam hatinya, tetapi juga sedih.
Lia mendesah kasihan melihat Kalila yang berusaha melawan sakit. Gadis kecil itu tidak terlihat manja. Terbukti Kalila menurut saat diminumi obat dan ramuan herbal, pun tidak terlalu rewel saat isi perutnya keluar semua. Dia malah kasihan pada bik Amri yang mengepel lantai dan membersihkan muntahan di sprei ranjangnya.
Di saat yang sama, Kalila melihat wajah Lia yang cemas. Secara batin seorang anak bisa merasakan lalu menghibur Lia sembari memeluk erat. Dia bilang ingin segera sembuh, agar bisa menemani Lia memasak dan pergi membeli buku di toko Gramedia. Senyum tipis tampak di sela air mata yang mengalir karena menahan sakit di bagian perut.
Lia tak kuasa meluapkan rasanya lantas balas memeluk tubuh mungil Kalila yang hangat. Seakan-akan sebagai orang tua dan ingin selalu berada di sisi gadis cantik itu, meski sadar hal itu sangatlah tidak mungkin. Seandainya diizinkan cukup menjadi seorang ibu buat Kalila walau tanpa ikatan. Atau terserah Yuda hendak memperlakukan apa saja padanya. Apakah sebuah keinginan yang berlebihan? Lia menelan impian yang begitu jauh
dari jangkauannya."Kal, insya Allah pasti sehat lagi. Makanya kita berobat, ya?" Yuda bersuara sambil menoleh sebentar pada dua perempuan di sebelahnya. Gerakan kepala Lia yang menunduk dan mencium dahi putrinya membuat hati lelaki itu mencelus. Pemandangan yang kini sering mendominasi isi kepalanya.
"Mama, nggak kerja? Terus Ayah nggak kerja juga?" Kal mendongak. Bibirnya terbuka sedikit.
Lia menggeleng hampir bersaman dengan Yuda. "Masa anaknya sakit, Mama tetep kerja. Emang, Kal mau ditinggal Mama? Ditunggui Bik Amri aja?"
"Enggak mau. Kal mau ditemani Mama. Makasih, ya Ma," kata Kalila seketika dengan gelengan kepala. Tangannya yang sempat terkulai berpindah melingkari tubuh Lia dengan erat.
"Iya, Sayang. Mama nggak pergi." Lia tersenyum haru.
"Masa ditemani mama aja?" Yuda melirik dengan wajah pura-pura cemberut.
"Iya, sama Ayah juga. Ayah marah?"
Yuda menggeleng. "Nggak bilang sama makasih sama Ayah. Masa sama ... "
"Makasih, Ayah. Kal lupa bilang tadi." Suara Kalila lemah. Betapa dia menyayangi dua orang yang duduk bersebelahan itu.
"Marah? Enggak, dong. Kapan Ayah marah sama, Kal?" Yuda ganti bertanya sembari tersenyum. Refleks tangan kirinya terulur ke punggung Kalila sebagai bentuk rasa sayangnya, tetapi malah membuat Yuda terkejut.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMI TERBAIK
عاطفيةAmalia Patmasari (27 tahun) dalam doanya berharap mendapat pendamping hidup seorang suami yang baik budinya dan penyayang. Seorang lelaki terbaik yang menghargainya sebagai teman hidup, dan bukan pelengkap hidup. Semua karena trauma masa lalu ibunya...