Bab 12 Menikah Denganku

322 34 7
                                    

Assalamu'alaikum.
Apa kabar teman-teman pembaca? Semoga sehat selalu.
Terima kasih yang udah setia baca cerbung ini, dan maaf kalau postingnya sangattt lamban bak siput yang kehausan. 🙂🙂

Terima kasih pula yang mau menyimpan akun mak ini. Oke jalan pelan asal selamat, eh ... salah, ya? ... asal tamat.
Selamat membaca

=====================

Yuda tidak melepas kaca mata hitamnya. Mobil putih meninggalkan resto dengan tujuan yang belum diketahui oleh Lia. Tidak ada kalimat yang keluar dari Yuda setelah selesai makan dan menunggu Lia salat dhuhur. Ekspresi lelaki itu pun sulit untuk ditebak.

Perjalanan telah melewati batas wilayah Yogyakarta. Lia merasa aneh, karena sudah jauh dari lokasi rumah Yuda. Ada gurat khawatir di wajah Lia, mengingat Yuda yang berubah-ubah moodnya. Dia telanjur terjebak pada situasi yang tidak baik-baik saja. Lia menekan dadanya kuat tanpa berani melihat wajah Yuda yang serius.

"Apa maksudnya, Pak Yuda ini?" Batin Lia sambil memeluk tubuhnya sendiri. Rasanya lebih baik berkelahi dengan preman dari pada semobil dengan bos besar yang bisa seenaknya sendiri.

"Kamu ganti baju sekalian ashar di masjid sana!" Perintah Yuda sembari mengarahkan tangannya ke masjid yang masih sekian meter jaraknya di kiri jalan.

"Ba ... baju?" Lia melonjak kaget sekaligus tidak bisa berpikir cepat.

"Iya, masa kamu mau pakai baju itu seharian? Itu bajumu sendiri. Bik Amri yang siapin baju itu." Uraian Yuda menambah bingung Lia. Apa hubungannya dengan pengasuh Kalila itu?

"Apa sih, mau Pak Yuda?" Keluar juga rasa penasaran Lia. Ingin sekali dia menarik kemudi ke pinggir jalan dan menghentikan mobil. Wajahnya tegang bercampur cemas.

"Udah sampai ini, kamu turun. Dan ingat jangan coba-coba lari kalau nggak mau kena masalah." Ancam Yuda dengan nada datar, meski jelas ada intimidasi. Dia pun lantas turun dengan tatapan tanpa beban.

Lia gegas mengambil tas berisi baju di kursi belakang. Kesempatan untuk meregangkan sejenak otot syarafnya yang tegang. Sekuat hati dan tenaga untuk berpikir positif, meski kentara sekali kalau wajahnya tidak tenang. Andai benar Yuda punya maksud buruk untuk apa dia rela membawa bajunya. Ini suatu kepedulian atau ... entahlah.

Lia buru-buru berjalan ke toilet. Dia tidak sekadar wudu, tetapi juga mau mandi. Beruntung peralatan mandi selalu dibawa bila sedang bekerja. Biar saja Yuda menunggu terlalu lama. Syukur-syukur tidak sabaran lalu pergi menjauh. Lia berandai sambil tersenyum kecut.

Saat ada kesempatan membuka ponsel setelah wudu, ternyata benda keluaran lama itu tidak ada nyawanya. Lia mendesah kesal, karena tidak bisa menghubungi Bik Amri.

Dengan langkah lesu, Lia masuk ke masjid. Kakinya berhenti sebentar sambil menatap rumah Allah yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Secara seorang hamba yang fakir, Lia ingin dekat dengan Sang Khaliq.

Yuda telah kembali ke mobil. Lima menit berlalu, Lia belum keluar dari masjid. Entah kenapa ayah Kalila itu percaya bila Lia tidak akan kabur. Maka, dengan tenang Yuda menunggu Lia.

Tangan lelaki itu lantas mengambil ponsel dari saku. Mengecek pesan masuk yang sebagian besar urusan pekerjaan. Ada senyum simpul di wajah Yuda saat membaca pesan pak Harto.

[Wah, saya kehilangan sopir tangguh, Pak. Mbak Lia itu luar biasa. Barusan bos Berkah minta maaf. Mbak Lia keren dan berani. Tapi, beneran dia nggak kerja lagi, Pak?]

Segera Yuda membalas tulisan pak Harto. Teringat sikap Lia yang garang pada karyawan yang mengganggunya. Padahal sebenarnya Yuda juga gatal ingin menonjok mulut lelaki itu.

SUAMI TERBAIK  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang