Bab 8 Salah Duga

419 42 2
                                    

"Jujur bukan sebuah pembelaan,  melainkan pernyataan diri bahwa realita tak seindah harapan".
============================

"Mau lari ke mana kamu, hah?" Seru lelaki berbadan tinggi bertopi hitam dengan mata memelotot. Kakinya kokoh menghadang tepat di depan Lia.

Mendapati situasi yang tidak memungkinkan untuk sekadar balik membentak, Lia berpura-pura bersikap ramah. Padahal dia tahu betul siapa yang sedang memelotiti dirinya.

"Aduh, saya bukan pelari, Om. Emang, Om cari sapa? Salah orang kali, ya? Saya nggak kenal sama, Om?" Lia bertanya dengan irama jantung yang berdetak kencang. Wajahnya dipasang sedatar mungkin.

"Om ... om, ngawur aja! Aku bukan ommu. Hei, kamu nggak mau kan, kita pakai cara kekerasan? Makanya cepat kasih sepuluh juta terus kamu pergi aman dari sini," ucap lelaki satu lagi yang wajahnya berewokan.

Lia membekap mulut dengan tangan. Berlagak terkejut atas permintaan dua pria bertato itu. Kaki panjangnya mundur dua langkah untuk menjaga jarak. Dia dalam kesulitan yang besar. Apalagi setelah mata bulatnya menangkap dua lelaki lain berbadan kekar berdiri tak jauh darinya. Lia ingat betul dia pernah melihat saat membeli rokok di toko tempatnya bekerja. Itu berarti selama ini Lia telah dikejar dan dimata-matai tiada henti.

"Masmu yang bodoh itu udah menjaminkan tubuhmu, Sayang kalau kamu nggak mau bayar utangnya. Huh ... pilih mana kamu? Tahu nggak? Kalau aku sebenere lebih milih tubuh kamu yang padat berisi itu dari pada uang. Ayo jawab sekarang!" Setengah menghardik walau tidak bersuara keras, lelaki pertama yang menahan Lia tersenyum jahil dan kotor.

Dalam hati Lia mengumpat keras dan ingin memberi pelajaran dengan bogemnya. Namun, apa daya dia tidak mungkin melakukan itu dengan situasi yang terjepit. Bisa-bisa malah difitnah macam-macam yang justru berdampak runyam dan berujung pula pada keamanannya.

Lia mengangkat tangannya ke udara. "Oke ... oke, aku ngerti siapa kalian. Lari pun sekarang nggak mungkin. Kalian itu mirip tikus-tikus jorok yang kotor dan nggak ada otak ..."

"Diam mulutmu, bocah!" Potong lelaki yang berewokan marah.

"Hei, santai Pak Tua. Aku nggak lari, tapi aku mau jalan ke sana. Akh akan minta uang sama calon suamiku. Jadi, silahkan sekarang kalian minggir dulu!" Lia menjelaskan asal bicara, agar penagih utang itu pergi.

"Enak aja kamu ngusir. Mana calonmu itu? Emang dia mau punya istri miskin kayak kamu? Emang dia kaya raya mau kasih segitu banyak uang? Oh ... pasti kamu udah jadi simpanannya, kan? Dasar perempuan nggak jelas. Pantas aja aku boleh menikmatimu, rupanya udah ..."

"Diam! Bukan urusanmu, Pak," sela Lia dengan wajah sinis. "Ca lonku di depan mini market. Itu di sana kalau nggak percaya. Dan asal kamu tahu, Pak kalau aku bukan perempuan murahan dan kotor seperti kalian! Awas, tunggu aja di sini biar aku samperin dia." Telunjuk Lia mengarah pada orang berjaket hitam yang duduk di atas motor Ninja. Sebuah kebetulan yang diharapkan.

Ada ekspesi ketidakpercayaan pada dua lelaki serem itu saat Lia mengakiri kalimatnya. Mereka saling beradu pandang seolah membuat pertimbangan. Lia pun memanfaatkan kesempatan baik itu untuk melarikan diri tanpa menoleh lagi. Kakinya melangkah dengan cepat.

"Hei ... jangan kabur! Hei ... dasar tukang tipu. Awas kamu!" Teriak yang bertopi dengan rahang mengeras. Matanya memelotot lebar sambil menoleh pada lelaki satunya.

"Yang tukang tipu abangnya, Bos."

"Heh ... ?"

"Eh, iya ... kejar, Bos?"

"Kejar gundulmu? Nggak liat depan mini market banyak orang? Tuh, ada polisi lagi turun dari mobil lagi. Kampret bener tuh, cewek. Bisa licin kayak belut terus ngerjain kita macam sapi ompong gini," ocehnya sangat kesal lantas menatap Lia di seberang jalan. Giginya gemelutuk karena menahan amarah hingga ke ubun-ubun

SUAMI TERBAIK  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang