Bab 9 Sakit

344 32 0
                                    

"Bik Amri, Kal sekolah sama sapa tadi?" Yuda muncul di belakang Bik Amri yang menenteng ember berisi cucian baju. Perempuan bertubuh langsing itu melonjak kaget.

"Ya ampun, Pak. Sampai kaget saya. Kirain sapa, lha ujug-ujug ada suara nggak dengar Pak Yuda jalan ke sini." Ekspresi terkejut tampak di wajah khas asli Jawa bik Amri.

"Waduh, pasti lagi nglamun ini. Kal sama sapa, Bik?" Ulang Yuda tanpa dosa. Efek bangun tidur sesekali masih menguap.k.m

"Mbak Kal ya dianter mbak Lia. Emang sapa lagi, Pak? Saya? Ah, kalau ada mbak Lia bocah ayu itu nggak maulah. Mbak Kal udah ngerasa banget kalau mbak Lia mamanya, Pak. Maaf kalau salah omong. Tapi emang gitu." Bik Amri mengangguk sebentar. Semoga pak bosnya lagi mode baik-baik aja.

"Ya, udah. Saya balik kamar lagi. Emm ... tapi,Bik Amri lihat hal yang gimana-gimana gak sama perempuan itu. Maksud saya Lia?" Tangan Yuda terangkat dengan jari menunjuk pada bik Amri.

"Gimana-gimana apanya, Pak? Saya kok, nggak paham?" tanya bik Amri sambil menurunkan ember di lantai.

Ganti Yuda yang kesulitan untuk menjawab. "Nggak-nggak, Mbak. Arrgghh ... aduh kepala saya agak pusing, Bik. Dari semalam."

"Iya, Pak. Pantas aja tadi mbak Kal mau pamit nggak jadi. Katanya ayah masih tidur. Kecapean kali, Pak. Dah lama nggak naik motor atau masuk angin juga bisa. Apa butuh obat sakit kepala, Pak Yuda?" Tawar bik Amri. Kakinya hendak melangkah ke ruang tengah.

"Nggak usah, Bik! Saya mau tidur lagi aja. Nanti tolong ketuk pintu saya jam sepuluhan, ya!" Yuda memijat pelipisnya dengan wajah menahan sakit.

"Jam sepuluh? Lah ini udah setengah sepuluh."

"Oh iya, ya? Sampai nggak lihat jam. Ya ... jam sebelas aja nanti, Bik. Saya ada urusan sih, tapi saya batalin aja." Yuda memejamkan mata sesaat. Rasa sakit di kepala membuatnya terasa berat menegakan kepala.

"Bentar, Pak!" Tahan bik Amri.

Yuda menoleh. "Iya? Saya udah punya obat pereda nyeri, Bik."

"Eh, bukan itu, Pak. Ini soal mbak Lia. Tadi bukannya Pak Yuda tanya gimana-gimana, kan?"

"Iya? Ada apa?" tanya Yuda lantas mengambil kursi tanpa sandaran di dekat pintu arah halaman dalam. Disandarkan kepalanya pada dinding.

"Itu, Pak. Belakangan, mbak Lia banyak diam kayak lagi mikir. Biasanya kalau masak sambil cerita-cerita pengalaman waktu jadi TKI. Ya, cerita anak bosnya di sana yang kadang dikangenin, teman-teman TKI lain. Wah ... pokoknya serulah. Mbak Lia bilang kalau gajinya tujuh bulan lum dikasih, lho Pak.  Bosnya itu maksa mbak Lia balik ke Hongkong dulu, baru gajinya dikirim. Soalnya yang diasuh itu cari-cari mbak Lia terus. Cari orang yang bisa ganti lum dapat. Tapi mbak Lianya nggak mau balik. Dia bilang tubuhnya bisa remuk kalau kerja sana lagi." Panjang-panjang Mbak Amri menjelaskan.

"Oh, gitu," sahut Yuda. Dia diam sebentar. "Bik, emang kerjanya dibanting-banting kok bisa remuk badannya?"

Bik Amri spontan menyipitkan matanya. "Ya ampun, Pak Yuda ... masa sih, saya harus jelasin.  Orang namanya kerja hampir 24 jam nggak berenti, kan capeknya nggak karuan. Terus itu tahunan lamanya. Wah ... maaf, lho Pak Yuda, pasti ini karna lagi pusing jadinya rada gimana gitu?"

"Iya ... iya, saya paham. Heran saya itu, Bik Amri langsung percaya sama critanya dia?" Balas Yuda tidak mau kalah.

"Eh ... apa nggak salah, Pak Yuda? Bukannya kalau ada orang nggak dikenal terus boleh nginep sini itu namanya percaya?" Seolah menyindir Yuda, bik Amri agak takut pula terkena SP 1 karena bersikap tidak sopan.

"Ah ... susah ya, ngomong sama Bik Amri. Udah, ah saya mau ke kamar aja." Spontan Yuda bangkit setelah bersin, lalu berjalan munuju arah kamarnya. Dia ingin tidur dalam waktu yang entah sampai kapan. Oleh sebab tidak yakin kalau tubuhnya bisa diajak kompromi pergi ke kantor.

SUAMI TERBAIK  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang