Ia diam untuk kesekiankalinya. Seakan sengaja membisukan salah satu inderanya, Raja menatap ke cakrawala di atas, perlahan menua bersama senja dan gradasi oranye terang. Kedua insan di depannya tidak lagi ingin berkutik, menyadari mata hitam legam Raja tertutup dengan kepalanya mendongak, merasakan angin sore yang bermain-main, seolah berterbangan 'tuk mencari rumahnya. Bising tak lagi mereka bertiga dengar, hanya terdengar suara merdu mesin ketik manual milik seorang lelaki tua yang rumahnya tepat di belakang dinding tempat mereka bersemayam sekarang.
Arka menggaruk kepalanya, bingung kenapa tidak ada lagi yang memulai percakapan. "Jadi ... ekhem, mau pulang?" tanyanya sambil mengusap dagu, keheranan karena dua manusia di hadapannya sekarang melemas dan bagaikan akan ikut diterbangkan angin.
"Gak," jawab Raja dan Dave bersamaan, membuat Arka sedikit menjauh dengan wajah yang ia dramatisir.
Dave berdiri dari duduknya, bersandar di tembok yang hanya setinggi pinggang, meratapi aliran air di bawah yang sedang menuju hulu. "Kita belum ganti baju juga, tapi gue males kalau harus pulang ke rumah," katanya sambil memanjat ke tembok rendah itu. Ia rasakan arumba dunia di sana, dengan tenang, membiarkan cahaya-cahaya neon dari kota terpantulkan lewat mata cokelat mudanya. "Luasnya."
"Lo mau lompat? Lompat, gih, nanti kalau lo mati gua bisa dapet nasi kotak." Arka terkekeh dengan kalimatnya sendiri, ia ikut berdiri, tangannya bertumpu di bahu Raja sebagai penopang. "Dave, lo butuh jasa tukang dorong?"
Dave yang kesal mencoba menendang kepala Arka yang sekarang setara dengan kakinya. "Jangan sembarangan, gue masih pengen jadi pramugara!"
Impiannya. Mengarungi dunia dari atas langit, terbang dan mendarat dari ufuk yang berbeda. Biarkanlah hobinya yang selalu membuat pesawat kertas dicap seperti anak-anak yang baru merasakan oksigen di dunia, Dave hanya ingin bermimpi, bagaimana rasanya terbang dengan para burung bersayap putih suci di atas sana.
"Hehe ... ya maap, soalnya muka lo kayak muka orang yang udah gak ada gairah hidup, sih," celetuknya sembarangan. Arka tertawa, menghiasi telinga Raja dan Dave yang menatap satu insan ini dengan senyum simpulnya. Arka kemudian berhenti tertawa, tapi senyum kecilnya belum juga pudar, melihat kota yang sekarang terpampang jelas di depan matanya perlahan dimakan oleh langit malam.
Dari tempat mereka berdiri sekarang, gedung tua yang dibangun di bukit perbatasan kota. Dave berpegangan pada pilar di sampingnya, berjaga-jaga tentang takdir yang ternyata ingin ia jatuh ke sungai kecil di bawah dan terbawa arus hingga ke laut. Raja yang sedari tadi seperti orang mati ikut-ikutan memanjat dinding, duduk di atasnya, bersender pada pilar sembari kakinya dengan iseng menggapai-gapai seragam Arka membuat sang empu tersungut.
Beberapa saat, mereka tidak lagi mengeluarkan suara, membiarkan suara perkotaan sampai di telinga mereka. Suara mesin ketik dari rumah lelaki tua itu juga tidak lagi terdengar, mungkin suratnya telah selesai dan akan langsung dikirimkan. Dave melirik ke bawah, ke sungai kecil yang entah kapan berhenti mengalir. Bulan yang masih tampil malu terlukiskan di permukaannya, juga wajah yang sedang menunduk itu. Ia melihat sesuatu, secarik kertas putih yang hanyut dibawa arus. Seketika, tubuhnya terasa tersengat sesuatu, layaknya bohlam muncul di atas kepalanya, Dave turun ke lantai dan meraba-raba isi tasnya.
Ia pegang tiga kertas kosong bersih, dengan senyum kecil yang ia berikan pada dua sahabatnya. Raja dan Arka menaikkan kedua alis, bertanya-tanya tentang apa isi kepala Dave sekarang. Dave tidak berkata apa-apa, pemuda itu hanya memberi secarik kertas untuk Raja dan Arka, tidak lupa dengan sebuah pulpen yang tidak ingin ditinggalkan.
Angin bagaikan berbicara dalam diam, Raja dan Arka mengambil kertas itu, dua lelaki muda yang sama-sama menatap benda tipis suci di tangan mereka sekarang. Sunyi, tenang, tiada suara. Dibiarkannya arus sungai menyanyi tentang indahnya bulan malam ini, berdamai dengan dentum jantung yang selama ini mungkin lelah bekerja.
Daves menjulurkan tangannya ke atas, menutupi pemandangan bulan dari matanya dengan kertas yang ia pegang. Jari telunjuknya menunjuk ke atas, ke langit tanpa kehidupan. "Surat untuk Tuhan."
Surat, yang akan mereka hanyutkan. Surat, yang akan mereka kirimkan lewat telaga yang akan mengalir ke surga. Suara mata pulpen bertemu permukaan kertas mengambil alih malam mereka bertiga, merangkai huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat. Mereka menulis, untuk Sang Tuhan.
Angan dibawa pergi oleh angin, sedikit terlukiskan dengan kepingan-kepingan memori yang datang tiba-tiba.
Seorang bayi dilahirkan dalam keadaan suci. Mereka dilahirkan bukan untuk dijadikan wadah penampung dosa orang tua mereka. Apa pun yang terjadi, kau tetap anak yang baik, Arka.
Mulut yang sedari tadi terus berbicara itu kini kehilangan suaranya. Jiwa yang paling terang di antara mereka, juga jiwa yang paling ingin redup, mengistirahatkan rasa lelahnya.
Kau selalu sibuk dengan ekspetasi orang lain, sampai kau tidak sadar mata yang dulu penuh dengan cahaya itu, telah kehilangan cahayanya, Dave. Impianmu memang adalah mengarungi dunia di atas langit, tapi sebenarnya kau hanya ingin bebas, pergi jauh dengan detak jantungmu seorang.
Terkadang, dirinya yang tidak pernah berkomentar itu berbicara sendiri pada awan. Tentang bagaimana caranya mereka terbang, juga cara mereka melukis hal-hal indah di atas langit sana. Menatap kabut yang belum juga hilang, bertanya-tanya kapan ia bisa berlari dari jagat raya.
Kau tahu? Ada saat di mana tujuan kereta yang salah akan membawamu ke tujuan yang benar-benar kau butuhkan. Raja, seluruh kepingan hidupmu adalah takdir, tidak ada yang salah dari sana.
Ia lipat secarik kertas itu, dijadikannya pesawat yang ringan dan rapuh. Dalam detik kesekian bulan terbangun, mereka terbangkan surat tersebut ke sana, ke tempat di mana laut tertidur, dan membiarkan Tuhan membacanya.
"Mari kita terbang bersama, suatu saat nanti."
Bersambung~
Hai! Selamat datang di part 8 kelompok 4, jangan jadi silent reader's yaa^^.
-Annisa
-Zila
-Arka
-Meilani
-DavesSalam sayang❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Raja Bumi
RomanceSetiap manusia layak untuk dicintai. Tidak peduli seberapa buruknya seseorang, seberapa hancurnya seseorang, dan seberapa menyedihkannya seseorang, tapi dia tetap layak untuk dicintai. Seiring berjalannya waktu, yang ditakdirkan pasti akan dipertemu...