9. Lubang hitam

236 68 15
                                    

Elaksi menepis mengurangi jarak antara dia dan Noran, membuat bibir mereka yang semula bersentuhan kini terpisah kembali dengan dua pemilik yang menatap canggung.

Jantung Elaksi berdetak sangat cepat, hembusan nafas Noran yang mengenai wajahnya masih ia ingat dengan jelas sensasi itu.

Elaksi menjadi lemah. Menurutnya perasaan seperti ini membuatnya menjadi sosok yang akan diinjak-injak oleh dunia.

Dan sekarang bukan saat nya untuk itu, Elaksi harus menguatkan hatinya agar tidak dijatuhkan oleh siapapun.

"Gua permisi sebentar mau nelpon." Elaksi mengeluarkan handphonenya dengan cepat.

Setelah otaknya itu berhasil menyimpulkan rangkaian masalah hari ini, dan semuanya bermula dari Doni.

Doni bahkan dengan tebal muka menelpon Elaksi mengatakan informasi perihal kepemilikan apartemen Elaksi.

"Doni, kamu tau semua ini kan?" ucap Elaksi setelah panggilannya tersambung dengan Doni.

"Makanya kembalilah padaku Elaksi, jangan buang-buang waktu bermain dengan anak pejabat negara yang korup itu." timpal Doni.

Elaksi terdiam. Dugaannya selama ini tepat, Doni masih tidak rela melepaskan Elaksi dan masih ingin mengetahui tentang kehidupan Elaksi.

"Dengar ya, aku bersama denganmu adalah bentuk dari buang-buang waktu, jadi kalau kamu hanya ingin menghentikkan aku bertemu dengan Noran sampai menciptakan masalah ini, aku akan lebih membencimu lagi." tegas Elaksi.

"Kamu belum tau kalau yang menciptakan masalah ini bukan aku tapi ayahnya si Noran kan? dia alasan semua ini bisa berjalan lancar, dia yang melaporkan ayahmu. Kemudian dana anggaran di himpunan mu? dia juga pelakunya." Doni membela dirinya.

Elaksi menjatuhkan ponselnya, otaknya berusaha menyusun puzzle yang tidak menyatu dengan pas di masalah ini.

Sebenarnya sejak kapan orang-orang mulai mengambil kendali di hidupnya?

Padahal yang ia lakukan hanya mengambil kembali kepemilikan dari hidupnya

Elaksi memutar otaknya, bagaimanapun caranya ia harus menyelesaikan semua ini tanpa menyakiti Noran dan orang tuanya.

Elaksi lalu menelpon sopirnya, Pak Hasan.

"Pak jemput saya sekarang."


***

Elaksi yang tak kunjung kembali membuat Noran khawatir dan menghampiri gadis itu.

Setelah menelpon Pak Hasan, Elaksi berjongkok menunggu jemputan nya dengan kepala yang meringkuk.

"Kenapa lo?" tanya Noran menyamakan posisinya.

Elaksi mengangkat kepalanya menatap Noran, "Noran jangan lakuin apapun, lo percaya gua kan? Tunggu gua ya."

"Lo mau pergi?"

"Iya."

"Berapa lama?"

Hanya sebuah senyuman yang bisa Elaksi berikan sebagai jawaban. Ia sendiri tidak tahu berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk menyelesaikan semua ini.

Lelah adalah satu kata yang menggambarkan betapa ia ingin ini semua berakhir. Ia hanya ingin semua orang menjalani hidupnya masing-masing dengan bahagia. 

Begitu juga Elaksi sebagai pemilik hidupnya.

Kini ia hanya menjadi seorang gadis yang berjuang untuk hidup dengan skenario terburuk Tuhan.

ELAKSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang