12. Matahari setelah kabut

261 58 20
                                    

Dua pria berjas hitam dengan seorang pria memegang sebuah map coklat ditangan kirinya dan pria lainnya yang sedang menelpon dengan ponsel mewahnya berdiri menatap tanah lapang  yang terbentang luas di depan mereka.

Samar-samar terdengar percakapan antara satu pria tadi dengan penelpon yang masih dapat didengar oleh pria yang memegang map coklat.

"Kami berencana akan membangun sebuah perusahaan baru di atas tanah ini, namun sayangnya kami terkendala persetujuan dari Pak Elaksano karena tanah ini masih berada dalam aset perusahaannya. Kami sudah menyiapkan segala perihal izin tolong bantu untuk persetujuannya dan juga masalah tanah ini, apakah ada cara untuk menggunakannya tanpa memerlukan perizinan Pak Elaksano?." kata pria itu.

"Kalau aku membantu kalian memangnya apa yang aku dapat?" jawab pria dalam telpon itu.

"Tentu saja seperempat saham di Perusahaan baru kami, dan dana investasi untuk isteri anda." Pria dengan ponsel itu tertawa dengan menyeringai

"Baiklah aku setuju. Aku akan mengurus masalah perizinan, dan juga aku ingin memberi kalian masukkan masalah penggunaan tanah itu. Hancurkan saja Elaksano dan keluarganya, buat mereka tergusur dari pemegang saham utama dan kuasai direksi perusahaan itu."

"Tidak diragukan otak politikus anda itu, pantas saja berhasil menduduki puncak." pujinya.

Pria dengan map coklat tadi melangkah mendekati pria yang baru saja mengakhiri panggilannya itu,

"Ini dokumen persetujuannya Robert, saya mau semua nya berjalan lancar dalam seminggu." kata pria itu.

Robert menjawab perkataan pria itu sambil membungkukkan badannya, "Baik Pak Thang."

***

"lalu lari kemana sebenarnya dana penggelapan itu?"

Elaksi berjalan menuju tengah panggung, lalu layar di belakangnya berganti menjadi tampilan sebuah foto tanah lapang yang luas.

Bisikkan para wartawan kian terdengar.

"Seluruh dana itu sebenarnya lari kepada Robert Bramanta dan Thang Xiau yang berencana membuka perusahaan baru di tanah dalam aset perusahaan kami. Hal ini terjadi tentu saja terjadi karena sebelumnya Thang Xiau adalah yang berwenang pada direksi kami dalam mengurus dana perusahaan termasuk uang pajak." jelas Elaksi membuat semua orang terdiam.

Tangan para wartawan sibuk mengetik pada laptop mereka berkejar-kejaran untuk saling menerbitkan berita ekslusif.

"Saya membuka sesi pertanyaan, kepada para wartawan silahkan bertanya dengan kesempatan satu kali untuk satu media." lanjut Elaksi, membuat para wartawan dengan cepat mengangkat tangan mereka.

Seperti para zombie kelaparan yang haus berita.

"Saya wartawan media Dospa! Lalu, setelah semua penjelasan ini apakah anda mengatakan bahwa semua yang telah terjadi adalah karena fitnah?." tanya wartawan pertama yang berhasil mendapat kesempatan bertanya.

Elaksi baru saja membuka mulutnya untuk menjawab, namun dicegah Noran yang sudah berdiri di sampingnya.

"Benar, Pak Elaksano dan Putrinya dijebak dalam keserakahan Ketua DPRD Pak Andrea, Robert Bramanta dan Thang Xiau." jawab Noran.

"Saya wartawan media lokal Tribun A! Untuk saudara Nohesa Andaran apakah tindakan anda sekarang ini untuk menjatuhkan ayah anda sendiri?." tanya wartawan lainnya.

"Saya berdiri disini bukan sebagai putra beliau tetapi sebagai seorang mahasiswa yang masih merindukan keadilan di Negeri ini. Anggap saja ini bukti keadilan hanya sedang tidur namun tidak menghilang." jawab Noran.

ELAKSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang