3. Maksud terselubung

8K 714 16
                                    

Pukul tujuh malam, Keyla turun dari kamarnya. Ia lapar dan sudah berhasil memberanikan diri untuk datang ke meja makan.

Tapi begitu di lihatnya Haris dan yang lain juga ikut turun, ia langsung cepat-cepat mengambil nasi dan lauk, kemudian berjalan cepat menaiki tangga.

Saat itu, Naomi hanya memperhatikan punggung Keyla yang semakin menjauh.

"Ngapain tuh anak?" tanya Rei, bingung.

"Baguslah, dia makan sendiri aja di atas. Mama gak suka ada orang asing di keluarga kita," sarkas Yumi, sengaja mengeraskan suara.

Keyla yang belum sepenuhnya sampai di lantai tiga, tertegun mendengar kalimat itu. Ia masih belum terbiasa diasingkan.

Namun detik setelahnya, ia menghela, tersenyum lebar. "Sabar Kela, cantik-cantik gak boleh emosian," gumamnya sambil mengusap-usap dada.

Keyla mengangguk. Ini adaptasi. Ini wajar.

Keyla anak orang ketiga. Wajar ia dibenci. Mungkin satu atau dua bulan, mereka masih marah. Tapi Keyla optimis mereka akan mulai menerimanya jika ia bisa menunjukkan bahwa dirinya menganggap mereka sebagai keluarga.

Setelah menutup pintunya rapat, ia duduk di meja belajar. Ia makan sambil menonton acara kesukaannya.

Kemudian, di saat seperti ini, ia mendadak teringat dengan ibunya. Ia tersentak. Mengibaskan tangannya di udara. Berusaha mengenyahkan pikiran seperti itu.

Keyla harus move-on. Ibunya sudah tiada. Selesai.

Sekarang dia sudah punya kehidupan baru. Tidak boleh menangisi hal yang sudah pergi.

Keyla melirik sekitarnya yang sunyi. Rasanya ia bisa mendengar suara jangkrik dengan jelas dari sini. Ditambah lagi, kamarnya berada di lantai tiga sendiri.

Dulunya, ini bukan kamar. Atap terbuka ini tidak di pakai. Dan ruangan satu-satunya di atap ini dipakai sebagai gudang.

Namun karena Keyla pindah, dan tidak ada lagi kamar di lantai dua, jadilah Keyla memakai ruangan di lantai tiga.

Keyla bangkit dari duduknya, membawa piringnya untuk duduk menikmati angin malam di luar. Gadis itu menengadah. Menarik napas panjang dan menikmati udara dingin malam.

Kemudian, Keyla mengangguk.

"Iya.. haha, ngapain sedih?" gadis itu menyuap makanannya, mengangguk sembari tertawa. "Ini enak kok. Hidup mewah, punya lantai sendiri," ucapnya, kemudian merentangkan tangan lebar-lebar.

"Setiap saat bisa liatin pemandangan malam kayak gini," ujarnya lagi, berusaha menghibur diri.

"Semangat Keyla..." gadis itu mulai memeluk dirinya sendiri. "Jangan sedih, ya?" lirihnya, bersamaan air mata jatuh melintasi pipinya.

Malam itu, Keyla memeluk dirinya sendiri sambil menangis diam-diam.

Sebab seberapa banyak pun ia berusaha menyemangati dirinya, rasa sedih dan sepi juga luka di hatinya tetap tidak ingin pergi.

Seolah sepi dan luka menjadi teman hidupnya sampai akhir.

***

BRAK

"Dari mana aja kamu, hah?"

Keyla tersentak kaget. Suara keributan dari bawah membuatnya terjaga. Penasaran, ia pun turun mengendap-endap dan mengintip dari tangga.

Sepertinya Sean di marahi karena pulang larut. Tentu saja, ini pukul 10.15 malam.

"Dengerin papa kalau papa lagi ngomong!" bentak Haris sekali lagi, membuat Keyla memejam takut.

Namun sebaliknya, Sean justru tampak biasa. Laki-laki itu justru tidak berkedip ketika Haris membentaknya.

Diam-diam, Keyla bertepuk tangan kecil.

"Bisa-bisanya kamu baru pulang jam segini?!"

"Emang sejak kapan papa peduli?"

Keyla melotot. Membekap mulutnya. Ini sih, Sean sudah gila namanya.

Haris menggeram. Meskipun ia tau seberapa benci Sean padanya, Sean tetaplah anak yang harus berada dalam pengawasan. "Jangan kurang ajar kamu!".

"Papa gak pernah ajarin kamu bersikap kayak gitu!" Haris menunjuk Sean lekat.

Sean diam, ia mengusap tengkuknya, kemudian menghela pelan. "Ya. Maaf."

"Udah pah, nanti darah tinggi papa kambuh," bujuk Yumi, memegangi lengan Haris dari belakang. Ia memberi isyarat pada Sean agar pergi ke kamarnya.

Tanpa basa-basi dan dengan senang hati laki-laki itu pergi meninggalkan Haris. Matanya bergerak cepat melirik ke arah dapur, hendak mengecek makanan apa yang ada di sana.

Dengan jeli, mata Keyla menangkap hal itu. Senyum cemerlang terbit di wajahnya. Ini saatnya mencari perhatian Sean.

Keyla dengan sabar menunggu hingga Yumi dan Haris pergi dari ruang tengah. Kemudian barulah gadis itu turun ke dapur dan mengambil seporsi makanan untuk Sean.

Tok tok tok!

"Siapa?"

Keyla mendekatkan wajahnya ke pintu. "Ini Kela."

"Sana pergi."

Keyla mendecak. Tangannya kembali mengetuk. Sepersekian detik, Keyla bisa mendengar langkah kaki di hentak-hentak berjalan mendekatinya, kemudian pintu terbuka.

Keyla tersenyum senang.

"Apasih?" sentak Sean. Namun detik setelahnya laki-laki itu sadar bahwa suaranya terlalu tinggi untuk perempuan.

Keyla menyodorkan piringnya. "Makan malam," ujarnya.

Kedua alis Sean menyatu. Ia melirik makanan itu sebentar, kemudian mendengus malas. "Ga lapar gue," tukasnya, bersiap kembali menutup pintu.

Keyla memiringkan kepala. "Masa?" kemudian gadis itu mengambil tangan Sean dan menyerahkan piring itu. "Kalau laper jangan ditahan kak," ucapnya, kemudian pergi.

"Apaan sih," keluh Sean. Namun tetap saja ia masuk ke kamarnya bersama makanan itu.

Di kamarnya, Sean duduk termenung. Bingung bagaimana Keyla bisa tau.
Biasanya kalau ia pulang larut, ia tidak bisa mengambil makan karena takut ketahuan orang rumah. Dan juga tidak ada yang mengingatnya belum makan.

Sean mengunyah makanan itu cepat. Setidaknya anak itu tau ia belum makan.

[]
.

For The Sweetest, Keyla [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang