Yuta saat ini tengah duduk dengan wajah kosong di samping bangsal tepat di mana Yumi berbaring pucat. Wanita itu sedang tidur siang.
Ia menghela panjang. Tangannya yang besar membungkus satu tangan Yumi dengan seluruh telapak tangannya.
Yuta tidak berniat mengganggu. Ia hanya mendadak sedih melihat keadaan Yumi sekarang.
Perlahan, mata Yumi terbuka. Ia langsung memandang putranya itu, kemudian tersenyum lembut. "Anak mama kenapa sedih, hm?" tanyanya lirih, kemudian menarik punggung Yuta agar memeluknya.
Yuta hanya diam. Menempelkan wajahnya di ceruk leher Yumi. Memejamkan mata merasakan betapa hangat dan nyaman pelukan mamanya itu.
"Ma..." serak Yuta. "Mama yang sabar ya? Sebentar lagi Yuta janji usir papa dari rumah."
Yumi terkekeh pelan. Ia melepas pelukan Yuta dan mengelus wajahnya penuh kasih sayang.
"Jangan ngomong begitu," peringat Yumi pelan. Ia memandang Yuta dalam. "Dulu waktu kamu lahir, papa sampai sujud syukur. Dia sampai nangis keras didepan semua dokter."
"Papa sayang sama kalian sem—"
"Tapi papa gak sayang sama mama," potong Yuta. "Yuta sayang sama orang yang juga mau sayang sama mama."
"Yuta..."
"Yuta gak ngerti jalan pikir mama, Keyla, juga mamanya Keyla," laki-laki itu meletak tangan Yumi di depan bibirnya. "Kenapa kalian sama-sama bertahan? Padahal udah gak ada alasan sama sekali untuk ngelakuin itu."
Yumi diam. Mereka sama-sama diam untuk beberapa saat. Beradu tatap, saling membelai. Hingga akhirnya, setetes air mata Yumi kembali melintas di pipinya.
Yumi tersenyum. "Selain perasaan mama, ada banyak hal yang harus mama pertahankan, kak."
Yuta menggeleng. Menunduk. "Masih gak ngerti," kepalan tangannya mulai mengeras. "Mau ada seribu alasan kek, kalau perasaan Yuta sakit, pasti Yuta pergi."
"Dulu waktu kamu udah masuk SD, dan Naomi nangis karena pisah sekolah sama kamu... Papa sampai rela duduk di bangku sebelah Naomi, nemenin dia sekolah seharian."
Yumi kemudian terkekeh. "Mama ingat papa selalu pulang dan ngadu pantatnya keram, tapi gapapa karena Naomi akhirnya bisa belajar dengan tenang."
"Kamu ga perlu paham, Yuta. Yang kamu perlu tau, mama ini sudah lihat hal yang ga kamu lihat."
"Meskipun papa udah ngelakuin kesalahan. Dulunya dia juga laki-laki yang rela lakuin apapun untuk kita semua. Dia habiskan semua tenaganya untuk bekerja, supaya mama bisa istirahat terus di rumah, supaya mama bisa hidup enak dan ga stress merawat kalian".
"Papamu memang salah, Yuta. Tapi, kalau mama lihat lagi matanya, dia tetap orang yang sama yang mama temui belasan tahun lalu. Cuma sekarang, papa lagi ga sehat, dia lagi kacau."
Mata Yuta perlahan berkaca. Ia kembali memeluk Yumi erat. "Kenapa sih, ma? Papa harus selingkuh? Sampai mati pun Yuta gak bisa lagi lihat papa kayak dulu."
"Mama tau..." Yumi tersenyum kecut. "Rasanya udah beda dan gak akan sama lagi," ringisnya.
Yumi mulai menyandarkan kepalanya di kepala Yuta. "Sampai papa berlutut minta maaf seratus kali pun, lukanya gak akan pernah hilang."
"Yuta benci lihat Keyla di rumah," adunya lirih. "Rasanya seakan-akan Yuta bukan anak papa."
Untuk yang satu itu, Yumi hanya diam. Ia memejamkan mata. Tak ingin menjawab, sebab dari lubuk hati yang paling dalam pun, ia merasakan hal yang sama.
Rasanya ada yang mengganjal sesak di dada setiap kali melihat eksistensi Keyla di rumah.
"Tapi kalau kita lihat Sean.. kayaknya dia biasa-biasa aja ya ma? Lihat Keyla di pukul, di marahin."
KAMU SEDANG MEMBACA
For The Sweetest, Keyla [END]
Fiksi Remaja"Kalau Kak Sean, mau aku pergi?" "Iya. Selama itu bisa bikin keluarga gue tentram, gue mau lo pergi." "Selamanya kita gak bakal bisa jadi keluarga. Lo bukan adek gue. Begitupun gue bukan kakak lo. Mau seberharap apapun lo sekarang, lo tetap harus sa...