Laviona hanya diam meresapi pelukan rapuh kakaknya. Satu tangannya terangkat menyentuh punggung Malachy, membalas pelukannya. Tersenyum tipis bukan atas kesedihan Malachy, melainkan karena ingatnya laki-laki itu.
Begitu saja, sebagian beban Laviona terangkat, lenyap ditelan hampa. Mengetahui ia tak lagi sendiri menanggung semua. Ia tidak akan tersiksa sendiri lagi manakala mimpi buruk itu kembali datang dan membawa trauma bayang-bayang kematian.
Sudah ada Malachy yang membantu mengangkat bebannya.
"Kau ingat," bisik Laviona lirih, penuh kelegaan. "Jadi mimpi itu nyata."
"Kenapa, Viona?" Malachy membalas lemah. "Kenapa tidak kau beritahu aku sejak awal? Kenapa kau biarkan dirimu tersiksa sendiri?"
Laviona terdiam beberapa saat. Mengingat lagi setiap kali dirinya ingin mengatakan hal ini pada Malachy, selalu ada sekat tebal yang membatasi. Memperjelas bentangan jarak tak kasat mata yang memisah persaudaraan mereka.
"Aku selalu merasa ... kau sangat jauh," jawab Laviona. Ia terdiam beberapa saat. "Aku memang beberapa kali ingin memberi tahumu, meski aku tahu tak akan dipercaya. Entah apa gunanya. Tapi ... aku adalah pengecut."
Malachy mengurai pelukan, membiarkan adik perempuannya yang masih lemah berbaring kembali di tempat tidurnya. Ia genggam telapak tangan Laviona erat sambil menatap adiknya itu tepat di mata.
"Berbulan-bulan," ucapnya. "Dan aku sudah menjadi orang paling buruk padamu. Bukannya bersikap selayaknya seorang kakak, aku malah menyiksamu. Kata-kataku ... Aku sudah keterlaluan."
"Tidak," balas Laviona langsung. "Yang menyiksaku adalah melihat kau mati di tangan Emilius."
"Viona ..."
"Melihatmu hidup, bernafas, mengetahui eksistensimu nyata bagiku adalah hal yang cukup menghibur," Laviona berucap seraya tersenyum tipis. "Kau sudah melakukan banyak untukku, ... Kakak."
Malachy beranjak duduk di sebelah Laviona. Ia menunduk dalam.
"Leavos yang memberitahuku tentang ini setelah kupaksa," Malachy mulai bercerita. "Seorang penyihir memberi tahuku bahwa ingatanmu tumpang tindih. Masuk akal karena satu kali ketika kau belum sadar sepenuhnya, kau memberitahuku tentang Ayah—Emilius yang ingin membunuhmu. Setelah itu Leavos datang dan kau mengenalinya."
"Lalu kau menyadari sesuatu yang janggal," ujar Laviona.
"Ya." Malachy menghela nafas dalam. "Setiap aku melihat Leavos dan Ernoch, aku merasa mereka tahu lebih dalam dari apa yang mereka tunjukan. Tatapan Leavos ketika kau bicara padanya tadi itu membuatku yakin sekali, ada yang tidak beres. Ada sesuatu besar yang seharusnya kuketahui tapi tidak."
"Jadi ... Kaum Aleafys mengingatnya?" Laviona bertanya
"Hanya kepala kaum mereka," jawab Malachy. "Dan kepala kaum memiliki hak untuk menentukan jika seorang dari kaumnya boleh atau tidak untuk mengingat kejadian itu."
"Hanya Kaum Aleafys?"
"Hanya Kaum Aleafys." Malachy mengangguk samar. "Itu sebabnya aku butuh waktu untuk mengingat semua kejadiannya. Aku memaksa diriku sendiri untuk ingat. Memang sama sekali tidak mudah. Terkadang malah menyakitkan. Baru beberapa menit yang lalu aku berhasil ingat seluruhnya."
Laviona terdiam beberapa saat. "Kalau begitu kau harus istirahat. Kau sudah melewati banyak. Pasti melelahkan."
"Yah." Malachy menghembus nafas, tersenyum tipis. "Belum sebanding dengan semua yang kau lalui." Ia kemudian terdiam agak lama.
"Omong-omong, apakah Ralos, pengawal pribadimu itu, adalah orang yang sama yang mati karena menjadi pengalihan di Istana Nimlasyr saat Ayah masih berkuasa? Pengalihan agar kau bisa membuka sihirmu tanpa disadari Ayah dan mengetahui keberadaanku di tempat Kaum Aquaxythm?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare [Completed]
Fantasy[Fantasy-Romance-Familyhood] (Not a Horror Story) ||Follow sebelum membaca ya, guys. Terima kasih^_^|| __________ Laviona hanyalah gadis desa yang melarikan diri ke sebuah hutan saat seisi rumahnya dibantai habis. Ia hanyalah gadis lemah yang bertem...