Pulau Swez
***
Kampung Terra hanyalah pemukiman yang sederhana, tempat para rakyat kecil tinggal. Biasanya orang-orang yang tidak mampu hidup di Ibu kota mengasingkan diri untuk pergi ke kampung tersebut, termasuk mantan para tahanan yang dulunya pernah mendekap di penjara istana.
Pengunjung yang datang ke tempat ini biasanya di sambut oleh suku Astin, sekelompok orang yang menjaga pulau Swez di pesisir pantai. Penampilan mereka tidak jauh berbeda dari manusia pada umumnya, hanya saja di sana tidak ada satupun orang yang diperbolehkan memakai pakaian selain warna putih. Itulah yang menjadi ciri khas dari masyarakat ini. Baik penduduk setempat ataupun pendatang, mereka diharuskan memakai pakaian serba putih saat pertamakali menginjakkan kaki di pulau Swez. Pakaian putih menandakan sebagai bentuk kesucian.
"Selamat datang di pulau Swez, Tuan dan Nyonya."
Seorang anak lelaki menyambut kedatangan Jeffrey, Naira, dan Naufal yang baru saja tiba. Mereka turun dari perahu kayu yang dipesan sebelumnya.
Pulau Swez dikenal sebagai tempat wisata yang kental dengan nuansa alamnya. Banyak orang-orang yang memanfaatkan perahu penangkap ikan sebagai moda transportasi untuk mengantar wisatawan ke pulau tercantik di sana. Dengan kata lain, para nelayan memanfaatkan pendatang untuk mencari tambahan penghasilan dalam kehidupan sehari-harinya.
"Terima kasih, Nak." Naira membalas keramahan yang diberikan si anak lelaki.
Sewaktu menapakkan jejak di daratan, butiran pasir menempel di bawah telapak kaki. Sayup-sayup udara berhembus mendamaikan hati. Pepohonan hijau berjejeran dengan apik. Pun desiran ombak yang perlahan memberikan kesan candu. Tidak salah lagi, semua orang akan terpesona dengan keindahan pulau Swez.
Namun begitu, masih ada pengecualian. Jeffrey adalah satu-satunya yang tidak bisa merasakan ketentraman pulau Swez. "Kalian yakin tempat ini aman, kan?" Bisiknya memastikan.
Naufal yang tidak menyimpan kecurigaan menanggapi pertanyaan tersebut dengan santai. Ia merupakan sejenis insan yang mampu beradaptasi di berbagai tempat. Seharusnya Jeffrey menikmati keindahan ini daripada memikirkan keburukan yang hanya menimbulkan rasa gelisah. "Jangan memikirkan yang tidak-tidak. Wilayah ini sudah lebih baik daripada desa Kematian."
Bagi Jeffrey, semua lokasi selain kamar istana terkesan berbahaya. Berkat perasaan sensitif yang dimiliki, ia senantiasa menanamkan sikap waspada agar tetap berhati-hati dimanapun ia berada.
Di kala kegundahan yang menghantui pikirannya. Naira menggenggam jemari Jeffrey, memberikan kepercayaan bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Kau adalah pahlawan yang bisa membunuh penyihir gelap. Kau pasti bisa melaluinya jika sesuatu terjadi lagi di sini. Jangan takut."
Sudut bibir Naira terangkat, mengukir senyuman berbentuk bulan sabit. Jeffrey tenggelam karena kecantikan wanita di hadapannya, pria itu sampai tertegun cukup lama. Seketika hatinya menghangat.
Lagi. Entah ingatan yang datang dari mana, Jeffrey yakin bahwa dirinya pernah melihat senyuman itu di suatu tempat. Batinnya merasakan aura yang tidak asing, tentang perasaan yang mengatakan bahwa mereka pernah dekat.
Angin yang menerbangkan helaian rambut Naira menghipnotis putra mahkota ke dalam imajinasinya. "Hai, Bebeb. Kamu ganteng, keren, baik. Aku cinta kamu." Suaranya terdengar begitu manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeffrey Mon Prince ✓
FantasyTAMAT Kehidupan Naira menjadi lebih berwarna sejak ia bertemu dengan seorang nenek tua yang membawanya ke dunia novel. ❝ Bagiku, mencintai sosok yang fana itu lebih menyakitkan dari sekedar cinta dalam diam. Aku terlalu mencintaimu sampai aku benci...