Delapan

245 53 7
                                    

Farhan itu kagetan. Makanya tadi pas Fajri, Fiki dan Zweitson dengan kompak berseru kencang, ia langsung tersentak. Bahkan dirinya sampai mengudara selama seperdetik. Farhan hendak protes karena bokongnya terasa agak sakit akibat beradu sama jok tadi, terus jatungnya juga jadi deg-degan. Namun, respons teman-temannya---terutama Zweitson---yang mengakak keras alih-alih merasa kasihan membuat Farhan memasang wajah masam.

Zweitson paling seru tertawa, sampai memegangi perutnya yang mendadak terasa keram. Fajri dan Fiki sempat tertawa, tapi kemudian mereka langsung merapatkan kedua bibir agar kekehan mereka teredam. Meskipun agak susah apalagi pas lihat Zweitson gak berhenti tergelak.

"Kalian kenapa?" Kak Sella menatap bingung. Ia menoleh ke belakang, tangan kanan Kak Sella memegang earphone yang sengaja dilepasnya.

"Itu tadi, Bang Han terbang," jawab Zweitson masih dengan sisa-sisa tawa.

Kak Sella mengernyit, "Terbang?" Dia  menoleh ke Farhan. "Farhan gapapa?"

Farhan meringis. "Gapapa, kok, aman."

Kak Sella mengangguk, lalu katanya, "Kirain kenapa, tadi pada teriak terus langsung ketawa. Aku agak bingung."

Mereka berempat kompak menyengir.  Sebelum mengalihkan pandangannya, Kak Sella sempat geleng-geleng kepala pelan, lalu ia memasang earphone-nya dan kembali memainkan ponsel. Balik lagi ke rasa kaget para bungsu, Zweitson yang lebih dulu ingat pun bertanya, "Kok bisa, sih?"

"Bisa apa?"

"Ya itu, kalian saling follow." Zweitson memberi jeda, keningnya berkerut. Ia memiringkan kepala.  "Kok ... bisa, gitu."

Farhan terkekeh, merasa lucu mendengar perkataan Zweitson. "Ya bisa aja, lah. Kenapa coba nggak bisa?"

Zweitson terdiam, benar juga. Kenapa nggak bisa?

"Lagian Firlian itu baik."

Fajri menaikkan sebelah alisnya. "Gak salah? Menurut gue, Lili itu galak."

"Oh panggilannya Lili?"

"Iya."

Farhan manggut-manggut, lalu membenarkan posisi duduk agar lebih nyaman, pandangannya kini menatap kosong pada passenger seat di samping kemudi. Farhan larut dalam pikirannya, dia jadi penasaran sama cewek bernama Lili itu, sebab semalam pesan terakhir darinya cuma dibaca saja, tanpa dibalas. Ya, meskipun gadis itu tetap meng-follback Farhan, sih. Enggak, Farhan menolak jika ia disebut sedang jatuh cinta. Karena ini murni ketertarikan biasa saja tanpa unsur istimewa.

Sebenarnya Fajri ingin bertanya lagi, tetapi ia mengurungkan niatnya karena Farhan sudah tidak lagi menoleh. Sebelum mengalihkan atensi pada ponsel Fiki kembali, selama sepersekian detik ia dan Zweitson sempat bersitatap. Zweitson menatapnya dengan sorot hangat, ada senyum tipis di bibir Zweitson yang jelas dituju pada Fajri. Namun, bukannya balas senyum, Fajri malah melengos.

Tentu saja, respons Fajri itu membuat Zweitson merasa pedih. Sampai kapan sih Fajri akan bersikap dingin padanya? Zweitson tahu dia salah, tetapi kan dia juga tidak sengaja. Dan respons Fajri tadi jelas membuatnya tidak nyaman. Apalagi melihat Fajri dan Fiki yang kini sibuk mengomentari sesuatu yang entah apa, Zweitson tidak tahu. Namun yang jelas keduanya nampak asik berdua saja. Senyuman di bibirnya tidak luruh, tetapi nampak berbeda. Seperti senyuman yang memancarkan lara.

*

"Lo beneran udah kenalan sama Lili, Bang?" Adalah apa yang Fajri tanyakan ketika mereka baru saja memasuki gedung SC*TV untuk menghadiri undangan sebagai bintang tamu. Fajri sengaja berjalan di samping Farhan agar bisa berbincang.

Dia Fajri | Un1tyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang