Hidup di Indonesia itu sama artinya kalian harus siap mental buat ditanya, "Kapan Kawin?" oleh orang-orang terlebih jika usia kalian sudah di atas 25 tahun.
Helloooo, aku tuh masih 26 tahun yang artinya cuman lewat 1 tahun dari standarisasi usia pernikahan warga +62. Heran deh padahal kan aku pria, mau nikah di atas 40 tahun kaya Om Muda dahulu tentunya enggak akan masalah yang penting stamina terjaga dan kuat tahan lama (apaan tuh?).
Kalau ditanya iri atau tidak melihat satu persatu saudara sepupu, rekan, atau siapapun yang berada di sekelilingku menikah jawabannya adalah TIDAK SAMA SEKALI, cuman ya begitu bosan saja jika ditanya dengan pertanyaan yang sama soal "Kapan Kawin?".
Untung saja kedua orangtuaku sudah tobat untuk menjodohkanku kembali. Lagi pula harapan mereka supaya aku "kembali" ke kodratku sudah terealisasi sehingga ajang pencarian jodoh bukan lagi untukku.
Sebenarnya tidak sulit bagiku untuk memikat kaum hawa terlebih dengan penampilanku saat ini. Oh jangan lupa pekerjaan, latar belakang keluarga serta daftar harta warisan yang insyaallah akan aku miliki kelak adalah nilai tambah harga jualku di pasaran. Namun permasalahannya adalah menurutku semua wanita itu sama saja yakni tidak ada yang benar-benar tulus. Aku jelek, aku dibuang. Aku ganteng, aku di sayang.
Ingatan-ingatan masa remajaku tidak akan pernah bisa aku lupakan. Penghinaan dengan kata-kata kasar dan tidak manusiawi serta perlakuan buruk yang aku terima dari orang-orang yang mengaku temanku dahulu benar-benar membuatku muak. Belum lagi penolakan dari seseorang yang pernah kusukai. FYI, sebelum aku menyukai dan menggoda para kaum berbatang aku dahulu sempat menyukai wanita, Lili namanya.
Lili adalah salah satu teman sekelasku di Sekolah Menengah Pertama. Dia tidak terlalu cantik tetapi cukup manis. Dia tidak terlalu pintar tetapi bisa diandalkan untuk menyalin tugas sekolah yang terkadang aku lupa kerjakan. Intinya Lili teman yang baik menurutku.
Entah sejak kapan aku menyukainya. Mungkin karena dia satu-satunya orang yang mau dekat dan bermain denganku tanpa menghina fisikku sehingga aku nyaman berada di dekatnya. Setelah mengumpulkan keberanian aku pun akhirnya menyatakan perasaan sukaku kepada teman sebangkuku tersebut namun sayangnya aku ditolak mentah-mentah bahkan yang membuatku lebih merasa kecewa dan sakit hati adalah caranya yang menolakku. Aku fikir dia berbeda ternyata sama saja seperti yang lainnya.
Sejak saat itu aku membenci wanita, kecuali kedua saudariku dan tentunya mamiku. Sehingga aku memutuskan untuk menyukai laki-laki saja ketimbang wanita yang membuatku akan semakin terluka.
Pada dasarnya aku hanya anak laki-laki yang suka dengan make-up dan warna pink. Salah? Lagi pula sejak kecil aku memang dikelilingi dengan hal-hal yang berbau feminim.
Pertama, kedua kakak perempuanku kerap kali mendadaniku sehingga semakin lama aku semakin tahu tentang make-up dan menjadi tertarik dengan hal tersebut. Meski aku tahu jika mereka hanya menjadikanku kelinci percobaan latihan mereka dulu. Selain itu juga karena aku berperan sebagai seorang adik sehingga tidak mempunyai kuasa apa pun untuk melawan dua wanita yang lumayan jauh usia-nya denganku. Kedua, setiap bermain dengan mereka, enggak ada tuh yang namanya robot atau mobil-mobilan layaknya anak laki-laki lainnya seusiaku karena yang ada hanya boneka barbie dan mainan masak-memasak. Jadi pada dasarnya karakterku dahulu itu adalah hasil dari lingkunganku bukan?
Balik ke topik awal. Siang ini aku ada acara keluarga. Salah seorang adik sepupuku akan menikah dan sudah dapat kupastikan jika pertanyaan keramat tersebut akan kembali tertuju kepadaku. Oh satu lagi, melihat track record diriku sejak dahulu telah membuat gosip-gosip tentangku masih beredar meski sekarang penampilan dan sikapku telah sangat berbeda. Ada yang bilang kedok belaka lah, pencitraan biar tidak di depak dari ahli waris lah, dan kata-kata menyakitkan lainnya. Bodo amatlah yang penting nanti kalau aku menikah aku tidak akan mengundang mereka-mereka yang nyinyirin aku.
"Aduh Bahar makin macho saja." ucap salah seorang tanteku yakni Tante Sonya, adik dari mamiku. Terdengar memuji memang tetapi sebenarnya aku tahu jika dia sedang menghinaku.
"Iyalah tan, makin ganteng juga kan?" jawabanku berusaha ramah.
"Iya sih makin ganteng juga tetapi kok kesini enggak bawa pasangan. Jangan bilang kamu masih jomblo. Malu dong Bahar masa kamu di langkahin lagi sama adik sepupu kamu. Kamu masih normal kan?" tanya Tante Sonya lagi.
Entah ada dendam apa dia denganku, bawaannya kalau bertemu dan melihatku tuh nyinyir saja. Segala hal diomongin dan segala hal diperdebatkan. Mamiku saja tidak seribet dia. Huft, ingin rasanya aku balas omongannya dengan mengatakan, dari pada Tante Sonya mengkhawatirkan diriku lebih baik kalau tante urusin suami tante yang selingkuh sama daun muda. Kemarin aku lihat mereka jalan berdua di mall sambil bergandengan tangan.
Tetapi tentu saja aku tidak akan bisa mengatakannya meski sekesal apa pun aku kepadanya dan seberapa menyakitkan perkataannya kepadaku karena selama ini aku di didik untuk tidak berbuat kurang ajar dengan orang yang lebih tua.
Bahar, kamu memang anak baik nan berbakti, puji diriku sendiri.
Setelah sedikit berbasa-basi yang sangat basi, Tante Sonya pergi meninggalkanku karena sepertinya dia akan menemui target selanjutnya. Dasar wanita tukang gosip.
Aku pun lebih memilih makan di pojokan tempat berlangsungnya acara pernikahan adik sepupuku dibandingkan berkumpul bersama anggota keluarga lainnya. Bukan tidak suka dengan mereka, hanya saja aku sudah terlalu lelah untuk sekedar berbasa-basi yang ujung-ujungnya aku ketahui akan berakhir dengan pertanyaan yang sama dan disaat seperti inilah rasa ingin memiliki istri tiba-tiba muncul, tetapi masalahnya mau cari dimana?
Lagipula kalaupun ada wanita yang suka kepadaku sekarang jujur aku merasa sedikit sangsi. Ya, karena menurutku mereka semua sama saja yakni tidak ada yang benar-benar tulus denganku, belum lagi soal masa laluku. Hal inilah yang terkadang membuatku merasa takut dan khawatir. Bukan karena aku ragu soal diriku sendiri terutama mengenai seksualitasku hanya saja terkadang rasa cemas dan takut akan pandangan atau anggapan orang-orang terhadapku selalu menjadi momok menakutkan untukku. Meski aku sudah berubah semua itu tidak menjamin seratus persen. Seburuk itukah masa laluku?
Pantas saja Laura menolak dan kabur karena akan dinikahkan denganku. Mungkin semua anak perempuan juga akan melakukan hal yang sama jika pasangan mereka adalah pria jadi-jadian seperti diriku dahulu.
Benar kata mami dan papi, kalau aku masih tetap sama seperti aku yang remaja yang ada pernikahanku dan pasanganku bukan akan diributkan soal hal-hal seperti pasangan lainnya melainkan soal.... sudahlah tidak perlu aku fikirkan. Buang-buang waktu dan menambah beban hidup saja.
Intinya adalah aku enggak terlalu suka acara keluarga apalagi pertanyaan basi soal kapan kawin. Kawin mah bisa kapan saja kali karena yang susah tuh menikah dan lebih susahnya lagi mencari pasangan untuk diajak nikah.
Ya Tuhan dimanakah jodohku berada? Apa belum lahir atau bagaimana?
"Bahar, kamu ngapain mojok disini? Ayo kita foto sama anggota keluarga yang lain." ujar mami sambil menarik tanganku untuk berkumpul dengan anggota keluarga lainnya karena sesi foto sudah dimulai. Kutaruh piringku yang masih sisa setengah di kolong kursi, sayang banget mana masih laper lagi.
"Sudah berapa orang yang nanya soal kapan kawin ke kamu?" tanya mami kepo sambil tetap menarikku ke arah kumpulan anggota keluargaku yang saat ini tengah sibuk bersiap-siap untuk berfoto.
"Menurut mami?"ucapku sedikit malas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Tied (Complete)
RomantiekBahar dan Laura adalah musuh bebuyutan sejak mereka masih kanak-kanak. Keduanya kerap kali memperebutkan hal yang sama. Entah itu peralatan make-up, posisi ketua cheerleaders, bahkan gebetan. Bahar dan Laura saling membenci namun keduanya justru dij...