3: OM PAPA

2.5K 211 7
                                    

Anak ini benar-benar mengira diriku adalah ayahnya. Sejak tadi dia terus saja menatap dan tersenyum kepadaku. Aku hanya bisa terdiam dan memaklumi, mungkin ini efek sakit alerginya.

Laura kembali. Dia tersenyum melihat diriku, cantik.

"Bunda, Om Papa nanti ikut pulang ke rumah kita kan?"

"Biru, panggil om saja enggak usah pakai papa sayang."

"Enggak mau!"

"Tetapi...." sebelum Laura kembali marah aku pun segera memotong ucapannya.

"Kan sudah gw bilang enggak apa-apa La, santai saja. Biru boleh kok panggil om dengan panggilan Om Papa." dan seketika anak itu kembali tersenyum lebar.

"Tuh, boleh kok sama Om Papanya." Laura menyerah atas keinginan anaknya dan dia pun hanya bisa mengucapkan maaf dan terima kasih kepadaku.

"Elo pulangnya mau gw anterin atau sudah dijemput?" tawarku kepada Laura. Ingat, kalau berbuat baik jangan setengah-setengah.

"Kami pulangnya naik taksi saja, kamu enggak perlu anterin kami pulang." tolak Laura atas kebaikan diriku.

"Ngapain naik taksi? Gw enggak keberatan kok."

"Enggak usah. Aku enggak enak ngerepotin kamu terus dari semalam padahal kita baru ketemu lagi setelah sekian tahun."

"Elo kaya sama siapa saja La. Enggak apa-apa kok lagian gw enggak sibuk dan enggak merasa direpotkan juga. Masa iya gw ngebiarin kalian naik taksi disaat mobil dan diri gw free."

Masih ada keengganan dari diri Laura untuk menerima niat baikku namun akhirnya dia pun menyerah dan bersedia untuk aku antar pulang ke rumah. Menjelang siang dan semua urusan administrasi Kabiru selesai, kami pun bersiap untuk keluar rumah sakit dan pulang (Laura dan Kabiru ya, aku aku sih nanti pulang ke rumah orangtuaku). Biru yang masih terlihat sedikit lemah meminta digendong tetapi masalahnya....

"Mau digendong sama Om Papa, bunda."

"Sama bunda saja sayang. Kasihan om-nya."

"Enggak mau. Pokoknya sama Om Papa!" rengeknya. Lagi-lagi jiwa malaikat di dalam diriku tidak bisa melihat semua ini dan aku pun akhirnya menawarkan diri kepada Laura untuk menggendong putranya.

Anggap saja sedang latihan beban. Palingan juga tidak sampai 30 kg beratnya nih bocah kalau aku lihat. Laura saja semalam kuat masa iya aku enggak, ucapku dalam hati.

Tetapi setelah beberapa detik pendapatku ternyata salah. Anak ini beratnya tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya yang kecil nan ramping dan sejujurnya aku malu jika mengakuinya.

Laura saja semalam kuat masa aku enggak? Lagi pula aku seorang tentara, abdi negara, pelindung bangsa masa gendong bocah kecil begini lelah. Memalukan.

"Kamu enggak apa-apa Bahar?"

Apa kelihatan banget ya kalau aku kecapean gendong nih bocah?

"Yaelah La, enteng ini mah. Gw dulu kalau lagi latihan bisa angkat beban berkali-kali lipat kok dari berat Kabiru sekarang." sombongku.

Ini beneran kok. Pernah dahulu pas latihan masih jadi taruna junior aku disuruh angkat beban 3x dari berat badanku. Yah, meski awalnya gagal tetapi bisalah ujungnya, intinya kan berhasil.

"Kamu sekarang bertugas dimana? Atau kamu lagi bebas tugas atau bagaimana?" tanya Laura saat kami tengah melewati lorong rumah sakit yang cukup ramai.

Wow, kalau orang lain melihat kami saat ini mungkin akan berfikir jika kami adalah keluarga kecil bahagia. Istri cantik, suami tampan, anak menggemaskan lengkap sudah paket keluarga Cemaranya.

Re-Tied (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang