12: JULIDTERS

1K 122 5
                                    

Akhir pekan ini aku berencana untuk menemui Kabiru dan Laura mengingat janjiku kepada bocah berkacamata itu ketika dirinya jatuh sakit. Seperti ucapanku tempo hari, aku berniat mengajak keduanya pergi ke SeaWorld atau ke Dufan. Tentu saja Kabiru merasa sangat senang saat mendengarnya dan begitu antusias sejak semalam saat aku menelepon dan memberitahukannya.

Aku menunggu keduanya di depan rumah sambil bersandar di samping mobil mercy mahal milikku. Kacamata hitam kupakai demi menambah kadar ketampanan dan lihat saja jika beberapa wanita yang lewat di dekatku saat ini terus menatapku dengan tatapan memuja serta mendamba.

Astaga, menjadi tampan terkadang sangat merepotkan.

"Pacarnya mama Kabiru ya?" tanya seorang ibu-ibu berbadan subur kepadaku.

"Calon suaminya kali jeng." ucap ibu satunya yang tidak kalah subur badannya.

"Mas ini pacar atau calon suaminya jeng Laura? Atau jangan-jangan ayahnya Kabiru ya?"

"Saya.... " belum sempat aku menjawab pertanyaan para ibu-ibu kepo tadi, Laura datang bersama Kabiru yang sudah berlari menuju ke arahku.

"OM PAPA!" ucap Kabiru lantang.

"Oh, calon papanya Kabiru ternyata." tuduh para ibu-ibu tadi. Ingin rasanya aku koreksi tuduhan mereka namun bibirku tiba-tiba menjadi kelu.

"Jeng Laura pinter ya milih calon papa baru buat Kabiru. Mana masih muda, ganteng, kaya lagi."

"Iyalah, jeng Lauranya kan juga masih muda dan cantik meski sudah jadi janda anak satu."

Astaga, ini ibu-ibu mau memuji atau mau julid sih?

"Jadi gosip jeng Laura goda suami jeng Mawar tuh enggak bener dong ya? Kalau saya jadi jeng Laura sih memang lebih milih mas-mas ini dibanding Pak Surya yang sudah mau bau tanah."

Aku memandangi wajah Laura. Laura terlihat tenang karena sepertinya dia sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini. Lihat saja, dia tidak terprovokasi atau pun marah dan justru hanya tersenyum sopan untuk menanggapi semua tuduhan ibu-ibu julid ini kepadanya.

"Ayo La, nanti keburu siang."

Biar saja aku dianggap tidak sopan oleh mereka karena memotong ucapan dan keasyikan gosip paginya. Lagi pula males banget ngeladenin tukang julid macam mereka begini. Meski dahulu aku tukang julid tetapi julidku enggak pernah nyakitin orang dan apa yang aku omongin adalah fakta, enggak seperti mereka yang katanya dan katanya. Julid sih enggak profesional, sumbernya enggak terpercaya.

Setelah berpamitan kepada para kaum julidters kompleks tempat tinggalnya, Laura dan Kabiru langsung masuk ke dalam mobil dan kali ini Biru memilih duduk di belakang kursi penumpang sendirian.

"Maaf ya, karena aku kamu dituduh macam-macam sama mereka tadi."

"Elo sudah biasa ya digituin? Maksud gw di julitin begitu. Kelihatan kali tuh ibu-ibu julitin elo. Nyinyir banget mulutnya La."

"Ya mau bagaimana lagi kadang menjadi janda memang enggak selalu menyenangkan. Ada saja bahan omongan dan tuduhan yang enggak mendasar."

"Seperti gosip elo yang ngegodain suami orang kaya tadi?"

"Iya."

"Kok bisa?"

"Soalnya Pak Surya hampir setiap hari mampir ke toko kue dan beli kue tetapi ibu-ibu malah mengartikannya berbeda."

"Elo enggak mau klarifikasi dan menyangkal segala tuduhan mereka?"

"Sudah tetapi enggak ngaruh. Setelah gosip dengan pria yang satu reda muncul gosip dengan pria lainnya padahal aku benar-benar enggak pernah ngapa-ngapain. Yah, meski sejujurnya aku tahu jika mereka terkadang memang berusaha menggodaku bahkan pernah ada yang langsung mengatakan keinginannya untuk menjadikanku istri kedua."

"Terus?"

"Ya aku tolaklah Bahar. Mana ada sih wanita yang mau dimadu dan jadi madu terus di cap sebagai pelakor. Aku masih cukup sadar buat enggak menerima lamaran pria itu meski dia menawarkan harta yang banyak untukku."

"Memangnya elo enggak mau nikah lagi La? Maksud gw setidaknya agar Kabiru mempunyai papa."

"Entahlah, aku hanya belum memikirkannya dan sejujurnya aku juga masih belum siap untuk kembali berumah tangga. Pengkhianatan mantan suamiku dan trauma atas pemerkosaan yang dulu aku alami masih sangat membekas dalam ingatanku." jawab Laura sambil menatap ke arah luar jendela.

Melihatnya yang kembali bersedih membuatku reflek menggenggam tangannya dengan sebelah tanganku yang bebas setir dan Laura pun seketika menengok kearahku dengan wajah yang terlihat bingung.

"Maaf kalau gw sudah bikin elo sedih kaya begini." ucapku tulus kepadanya dan hanya senyuman yang Laura berikan sebagai jawaban atas ucapanku tadi.

Kabiru memilih pergi ke Dufan dibandingkan SeaWorld. Sebenarnya aku tidak keberatan dengan pilihan bocah ini hanya saja....

"Panas banget ya La." keluhku. Laura yang mendengar keluhanku barusan seketika tertawa.

Ada apa? Kenapa dia malah tertawa? Apa ada yang lucu atau aneh dari ucapanku tadi?

"Kamu lucu banget sih Har. Kamu itu kan tentara tetapi malah enggak kuat panas."

"Bukannya enggak kuat panas cuman kalau bisa berlibur ke tempat yang sejuk kenapa mesti panas-panasan? Lagi pula gw sudah keseringan berjemur. Lihat nih kulit gw. Sudah kaya kopi-susu tahu enggak kalau lagi di sebelah elo begini."

Lagi-lagi Laura tertawa mendengar penuturan jujurku kepadanya.

"Kan kamu yang pertama nawarin buat liburan ke Dufan sama Biru. Jangan bilang kalau sekarang kamu jadi menyesal?"

"Jangan berasumsi sembarangan. Gw enggak nyesel kok lagian sudah lama juga enggak ke Dufan. Kayanya terakhir kali tuh pas gw duduk di SMP kelas 3 saat karyawisata sekolah kita."

"Syukur deh kalau kamu enggak nyesel. Soalnya kalau kamu nyesel, aku semakin enggak enak hati nanti sama kamunya. Maaf ya."

"Maaf buat apa?"

"Sudah ngerepotin kamu bahkan tadi pagi kamu juga jadi bahan gosip ibu-ibu tempat tinggalku."

"Yaelah nyantai saja sih."

"Bunda, Biru mau naik itu." ucap Biru sambil menunjuk wahana kuda-kudaan.

Oke, wahananya masih aman untuk aku naiki. Sorry saja nih ya, meski badanku kekar, aku akan menolak kalau dia meminta untuk naik halilintar atau semacamnya. Buat apa sudah bayar mahal tetapi malah mennyiksa diri untuk permainan yang mempertaruhkan nyawa macam begitu? Bahkan meski aku Leonardo de Kampreto yang mempunyai nyawa sembilan mending aku jaga deh tuh nyawa baik-baik apalagi ini cuman punya nyawa satu.

"Ayo Bahar kita naik itu atau jangan-jangan kamu takut?" ledek Laura kepadaku.

"Enak saja. Baharuddin Kamajaya, pria tampan dan gagah, anggota Kopassus Republik Indonesia masa takut naik kuda-kudaan macam begitu?"

"Hahaha kamu lucu banget deh Har." setelahnya kami bertiga ikut mengantri menaiki wahana tersebut karena memang sekarang adalah hari libur maka antrian cukup panjang.

"Om Papa, kapan kita naiknya sih?" rengek Kabiru kepadaku karena sepertinya dia sudah tidak sabar untuk naik dan juga terlalu lelah untuk mengantri.

"Sabar ya Biru, nanti juga naik kok. Capek ya? Mau Om Papa gendong?"

"Enggak. Biru maunya naik kuda, enggak mau naik Om Papa."

"Biru capek ya nak? Sabar ya. Sebentar lagi kita naik kuda itu kok. Memangnya Biru mau naik kuda yang mana?"

"Yang putih bunda, biar kaya pangeran di buku dongeng. Kan pangeran dalam buku dongeng naik kuda putih bukan kuda hitam atau cokelat."

Ini anak bener-bener hobinya boddy shamming sejak dini deh. Ckckck bibit-bibit julidters juga nih kayanya di masa depan.

Saat masih mengantri untuk menaiki wahana kuda-kudaan tiba-tiba saja ada seseorang yang menyapa Laura.

"Dek Laura."

Re-Tied (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang