Dalam tangis ini, Reely berdoa pada Sang Pencipta. Tuhan, apakah sekarang adalah waktunya? Apakah Engkau benar-benar telah merindukannya untuk berada di pangkuan-Mu?
Jika itu terjadi, sejauh apa ia akan bertahan?
Rendi mengambil sebuah kertas di bawah bantalnya, ia memberikannya pada Reely. “Di-di-baca nanti ya, Nak.”
Kali ini, pandangan Rendi beralih pada Rezi, Rezi maju beberapa langkah saat tahu Rendi ingin berbicara dengannya.
“To-tolong ja-ja-gain Reely, a-a-apa ka-mu ber-sedia?” Rezi mengangguk cepat, tanpa sadar sudut matanya mulai meneteskan air mata.
Rendi merasa tubuhnya makin kaku, ia pun merasa oksigen di sekitarnya makin menipis. Dengan terbata-bata Rendi mulai berkata, “To-to-long ban-tu sa-ya.”
Reely menggeleng sambil menangis lebih kencang, ia tidak kuat melihat ayahnya yang tengah menahan sakit. Berbeda dengan Reely, Rezi yang mengerti maksud ucapan Rendi pun segera menghapus air matanya. Ia langsung membantu Rendi untuk mengucapkan kalimat tauhid.
Rendi menarik napas lalu mengikuti tuntunan Rezi tanpa terbata-bata, seolah para malaikat tengah memberinya kesempatan terakhir untuknya. “La ilaha illallah muhammadarrasullah.”
Di kota Jakarta yang tengah diguyur derasnya air hujan, tiba-tiba saja semestanya seperti merasa hening seketika. Pukul lima sore pada hari Sabtu—tepat seperti hari lahir Reely—Rendi telah mengembuskan napas terakhirnya.
Reely langsung menangis histeris, ia mengguncangkan tubuh ayahnya, tangis pilu yang membuat siapa saja akan ikut merasakan betapa kehilangannya Reely. Satu-satunya manusia yang sangat ia sayangi selama ini telah pergi, satu-satunya alasan ia tetap hidup telah meninggalkannya.
Ayahnya, cinta pertamanya, pahlawannya kini telah menghadap Sang Pencipta.
Dokter dan kedua suster pun segera masuk. Dokter memeriksa denyut nadi Rendi dan deru napas Rendi yang sudah tak lagi ada.
“Suster, tolong dicatat waktu kematiannya, pukul lima lewat sembilan belas menit,” kata Dokter Saka sembari melihat jam tangannya.
“Enggak! Ayah belum meninggal, Dokter! Jangan cabut selang pernapasannya, Dokter! Dokter, tolongin Ayah! A-ayah pingsan, Ayah enggak sadarkan diri, tolong Ayah, Dokter!” Reely berteriak histeris. Ia menahan tangan dokter yang hendak melepaskan selang pernapasan ayahnya.
“Reely, Reely kamu harus ikhlas,” kata Rezi memegang bahu Reely guna menghentikan amukan Reely.
Reely menggeleng kuat, berkali-kali ia menghentikan tangan-tangan yang hendak menutup wajah ayahnya dengan kain putih. Namun, tiba-tiba rasa pusing mulai menyerangnya, ia berteriak memanggil ayahnya sebelum akhirnya pingsan di pelukan Rezi.
“Reely!”
***
Reely berdiri dengan raut muka bingung saat dirinya berada di tempat asing. Bahkan, ia terkejut karena dirinya tengah mengenakan sebuah gaun yang indah. Padahal, tadi ia hanya memakai pakaian kasual saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Resah Setelah Pisah
Ficção AdolescenteSelama 17 tahun hidupnya, Reely hanya memilki ayahnya-satu-satunya insan yang ia punya. Saat kehilangan-kehilangan pahit mulai menghampiri, ia sadar bahwa dirinya harus memperoleh kebahagiaan sendiri. Namun, luka-luka yang belum ia maafkan justru me...