“Reely! Yey, lo masuk sekolah lagi!” pekik Tania membuat Reely langsung membekap mulut sahabatnya itu.
“Kebiasaan, deh,” ucap Reely melepaskan tangannya dari mulut Tania. Reely mengalihkan pandangannya ke sekitar lalu setelahnya ia mengernyitkan dahi.
Sebenarnya, sejak ia masuk ke kelas ini, dirinya merasa sedikit canggung. Entah mengapa hawa kelasnya terasa berbeda. Jika biasanya saat ia datang kelas dipenuhi riuh yang berisiknya bisa sampai lantai bawah, saat ini tidak lagi. Tidak ada teman-temannya yang heboh bergosip di pojok depan meja guru, tidak ada teman-temannya yang bermain musik dan bernyanyi di sudut belakang kelas, pun tidak ada yang sibuk dengan mencatat tugas-tugas sekolah.
Ada apa ini? Mengapa sejak ia melangkahkan kakinya masuk ke sini, semua mata terus memperhatikannya dengan tatapan seperti itu? Tatapan yang sama ketika Reely bercermin saat menghadapi kenyataan bahwa ayahnya telah meninggal dunia.
Ia menaruh tas lalu duduk, sedangkan Tania masih mempertahankan ekspresi hebohnya. Karena kemarin Reely bilang akan masuk sekolah dua hari lagi, tetapi ternyata hari ini sahabatnya tiba-tiba sudah masuk sekolah.
“Hampa banget gue kalau enggak ada lo tahu,” keluh Tania.
Reely menoleh dan mengangkat satu alisnya. “Halah, bilang aja karena enggak ada gue, lo bingung kan mau nyontek sama siapa?”
Celetukan Reely membuat tawa Tania berderai. Reely itu, sekalinya berbicara kadang bisa langsung tepat ke sasaran.
Reely yang melihat Tania tertawa pun mengulas senyumnya. Senang rasanya bisa kembali melihat tawa sahabat yang selalu membuat hatinya menghangat. Baginya, mempunyai satu sahabat yang selalu ada bersamanya baik suka dan duka itu sudah lebih dari cukup.
Setelah beberapa menit berbincang kecil dengan Tania, Reely dibuat terkejut oleh teman-teman sekelasnya. Mereka bergerombol di mejanya dengan membawa senyuman yang tidak pernah Reely lihat sebelumnya—sebuah senyuman paling tulus tertuju pada Reely dari mereka semua. Ada apa ini?
Dilihatnya Nira—sang bendahara di kelasnya menghampiri Reely, sedangkan Tania bangkit dari duduk dan berdiri bersama teman-temannya.
“Reely, kami semua turut berdukacita atas kepergian Ayah lo, maaf kalau beberapa dari kami waktu pemakaman Ayah lo enggak bisa datang, tapi doa kita menyertai Ayah lo, kok. Lo yang tabah, ya,” ucap Nira.
Reely mengerjapkan matanya berulang kali. Kemudian, ia melihat Putri—sang sekretaris kelas—menghampirinya membuat Nira memundurkan diri. Putri membawa satu buku tulis di tangannya lalu memberikannya pada Reely.
Alis Reely bertaut penuh tanda tanya. Putri berkata, “Ini rangkuman materi selama lo izin enggak masuk di sekolah, Reely.”
Setelah lama berdiam dengan penuh tanda tanya dan haru, Reely berujar, “Ma-makasih banyak.”
Sungguh, Reely merasa gugup tiba-tiba. Karena baru pertama kali teman-teman kelasnya bersikap seperti ini. Sejak awal ia masuk di sekolah ini sampai sekarang menginjak kelas sebelas, Reely tahu banyak murid perempuan yang menjauhinya. Kata Tania, beberapa dari mereka tidak ingin mendekati Reely karena takut hanya dikira panjat sosial saja. Padahal, Reely tidak pernah berpikir demikian, justru ia sangat ingin memiliki banyak teman. Pun bersama murid laki-laki, Reely tidak bisa berbaur dengan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Resah Setelah Pisah
Teen FictionSelama 17 tahun hidupnya, Reely hanya memilki ayahnya-satu-satunya insan yang ia punya. Saat kehilangan-kehilangan pahit mulai menghampiri, ia sadar bahwa dirinya harus memperoleh kebahagiaan sendiri. Namun, luka-luka yang belum ia maafkan justru me...