Selama ini, memendam adalah jalan terbaik untuk semuanya. Namun, ternyata memendam luka yang telah lama bersarang di hati membuat Reely terus-menerus tertekan olehnya. Ia merasa hal-hal baik yang dilakukannya untuk mencapai bahagia tidak membuat hatinya merasa demikian sepenuhnya.
Apakah itu karena luka-luka yang selama ini Reely pendam? Apakah itu karena Reely yang belum bisa memaafkan luka-luka itu?
Setiap hari, setiap waktu yang terus bergulir Reely selalu berpikir. Apakah jika ia memaafkan dan berdamai dengan luka-luka itu hatinya akan merasa tenteram? Apakah ia akan bisa merasakan bahagia yang utuh tanpa harus merasa rapuh? Karena jika iya, Reely akan mencobanya.
Suara getaran ponselnya di meja rias membuat Reely bangkit dari lamunannya. Dilihatnya nama si penelepon yang ternyata adalah Rezi. Tumben sekali laki-laki ini menghubunginya malam-malam.
"Halo, Kak," sapa Reely setelah dia menggeser ikon berwarna hijau.
"Halo, Reely. Maaf ya saya telepon malam-malam gini."
Reely tampak menggelengkan kepalanya. "Enggak ganggu, Kak, santai aja. Ada apa, Kak?"
"Besok kamu free, nggak?"
"Free, Kak."
Di seberang sana, Rezi tersenyum kecil mendengar jawaban Reely. "Pas banget. Kebetulan saya dapat dua voucher dari sepupu saya. Voucher sanggar seni lukis gitu. Karena saya dapat dua voucher, saya berniat mau ngajak kamu, apalagi kamu suka ngelukis, kan?"
"Wah, kalau itu saya enggak punya alasan buat nolak, Kak," jawab Reely cepat, matanya berbinar-binar.
Rezi terkekeh pelan, mendengar antusias Reely membuatnya juga ikut merasa senang. "Nah, kalau gitu sampai ketemu besok ya. Saya jemput kamu jam setengah delapan pagi ya."
"Oke, Kak."
"Ya sudah, saya tutup ya teleponnya. Oh iya, selamat tidur dan have a nice dream."
Reely tidak bisa menahan kedua sudut bibirnya untuk tidak tersenyum setelah mendengar perkataan Rezi. "Iya, Kak. Have a nice dream too."
***
Saat ini, Reely tengah bercermin sembari mengikat rambutnya. Perempuan itu memakai baju rajut lengan panjang berwarna cokelat susu dengan bawahan skirt warna putih membuat Reely terlihat makin manis. Sembari melihat jam yang telah menunjukkan pukul 07.20, Reely kembali menikmati alunan lagu yang dibawakan oleh penyanyi favoritnya.
"Sedikit kujelaskan tentangku dan kamu
Agar seisi dunia tahu.Keras kepalaku sama denganmu
Caraku marah, caraku tersenyum
Seperti detak jantung yang bertaut
Nyawaku nyala karena denganmu."Perempuan itu termenung sejenak kala alunan lagu Bertaut yang dinyanyikan Nadin Amizah mulai dihayatinya. Sebelumnya, Reely tidak pernah berpikir demikian, tetapi pertanyaan itu tiba-tiba muncul di kepalanya. Apakah ia juga mempunyai tautan yang sama dengan ibunya? Mungkin hampir semua orang akan menjawab iya karena ikatan cinta yang dimiliki ibu dan anak itu sangatlah kuat. Namun, untuk kasus seperti dirinya, apakah aturan itu masih berlaku?
Dipikir-pikir, sejak ibunya tinggal di sini kenapa ia sekarang merasa bahwa dirinya sudah terlalu jahat, ya? Semenjak ibunya kembali, Reely selalu tidak menghiraukan ibunya. Bahkan, terkadang ia menolak mentah-mentah makanan yang disajikan oleh ibunya. Walaupun akhirnya terkadang juga ia habiskan saat ibunya tidak ada di rumah.
Sadar bahwa dirinya sudah terlalu lama melamun di depan cermin, Reely pun segera bergegas keluar dari kamar. Saat tengah menuruni anak tangga, samar-samar ia mendengar suara obrolan yang membuatnya menuruni anak tangga dengan cepat.
***
Masuk, tidak, masuk, tidak, masuk, tidak, masuk-
Gerakan jarinya terhenti kala suara pintu dibuka mengalihkan pandangannya. Terlihat wanita berusia empat puluh tahunan tengah memperhatikannya. Dengan sigap, laki-laki itu langsung menampilkan senyuman dan sedikit menundukkan kepalanya.
"Kamu temannya Reely?"
Dengan sekali anggukan sebagai jawaban, wanita itu mempersilakannya masuk. Harusnya tadi ia langsung masuk saja, mengapa ia membuang-buang waktu di sini tadi? Kan, jadinya terasa canggung seperti ketahuan ingin membawa kabur anak gadis orang, eh?
"Mari duduk, jangan sungkan. Saya pernah lihat kamu menjemput Reely untuk ke sekolah. Kamu temannya atau pacarnya?"
Masih berjuang, sih, buat jadi pacarnya, Rezi membatin.
Rezi menggaruk tengkuknya sebentar sembari tersenyum canggung. Ternyata bertemu dengan orang tua dari gadis yang ia sukai memang bikin deg-degan ya. Kali ini sensasinya berbeda saat bertemu dengan Ayah Reely.
Karena tidak ada jawaban dari Rezi, Mika-mamanya Reely-pun tertawa pelan. "Santai aja, jangan canggung gitu. Ngomong-ngomong kalian mau ke mana sepagi ini?"
"Saya mau ngajak Reely melukis, Tante," jawab Rezi.
Mika manggut-manggut. "Hati-hati, ya. Oh iya, ini saya buatkan Reely jeruk hangat, saya tahu Reely mau pergi makanya sudah dari tadi saya siapkan. Kamu yang bawa ya. Biasanya saat dia lagi berkonsentrasi dengan hal yang dia suka, minuman rasa jeruk adalah pasangannya."
Rezi tertegun sejenak. Terlihat sekali bahwa ibunya Reely ini sangat mencintai anaknya. Bahkan, hal-hal yang sepertinya sering Reely lupakan pun ia selalu mengingatnya. Ikatan cinta antara ibu dan anak memang sangat mengagumkan.
"Baik, Tante. Terima kasih."
Tiba-tiba, derap langkah kaki terdengar begitu cepat. Rezi dan Mika menoleh ke arah tangga mendapati Reely yang tengah menapakkan kakinya terburu-buru.
"Reely, hati-hati," kata Mika memperingatkan.
Reely tidak merespons. Ia menatap Rezi sembari berkata, "Yuk, Kak! Aku udah selesai siap-siap."
Rezi mengangguk lalu berdiri dan menghampiri Mika. "Saya sama Reely pamit ya, Tante," pamitnya sembari mencium punggung tangan Mika.
Mika tersenyum kecil, sedikit sedih karena Reely tidak mencium punggung tangannya, seperti yang dilakukan Rezi. "Hati-hati ya. Jangan ngebut-ngebut."
***
Halo, gais. Terima kasih sudah mampir untuk baca. Terima kasih sudah meninggalkan jejak, ya! Tunggu part selanjutnya, ya
-Annida Salma Nabila
30 Agustus 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Resah Setelah Pisah
Teen FictionSelama 17 tahun hidupnya, Reely hanya memilki ayahnya-satu-satunya insan yang ia punya. Saat kehilangan-kehilangan pahit mulai menghampiri, ia sadar bahwa dirinya harus memperoleh kebahagiaan sendiri. Namun, luka-luka yang belum ia maafkan justru me...