“Terima kasih karena sudah bersedia datang, Pak." Mika mengatupkan kedua tangan di depan dadanya sembari sedikit menundukkan kepala kepada Pak Akbar—selaku usdaz yang memimpin jalannya tahlilan 100 hari kepergian Rendi.
Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 20.40 WIB. Tahlilan sudah selesai dan para bapak-bapak juga sudah pulang sejak tujuh menit yang lalu. Beberapa teman-teman kelas Reely pun turut datang walau tidak banyak—hanya sekadar mewakilkan saja. Pun dengan Rezi, Adit, dan Bima yang turut datang.
“Makasih ya, Kak Adit dan Kak Bima udah sempatin buat datang,” kata Reely menatap Adit dan Bima bergantian. Ia jadi merasa terharu karena orang-orang di sekitarnya sangat peduli kepadanya. Terlebih dua sahabat Rezi, yang memang jarang berinteraksi dengannya.
“Sama-sama, Reely,” jawab Adit dengan senyum tipis.
Setelah sampai di teras rumahnya, Adit dan Bima menghentikan langkah sembari saling tatap. Reely hanya bisa terdiam karena memang tingkah dua sahabat Rezi ini sering kali di luar dugaan.
Kali ini, Bima menatap Reely. “Ini kami udah boleh pulang kan, ya?”
“Boleh, Kak." Reely langsung saja mengerutkan dahinya. Memangnya sejak kapan ia melarang mereka untuk pulang? Perasaan tidak.
Adit tersenyum mengejek lalu menepuk keras punggung Rezi. “Soalnya ini anak kayak berat banget langkahnya buat pergi, nih.”
Tawa Bima menggelegar. “Takut merindu si Abang, aw.”
Reely terdiam sembari menundukkan kepalanya karena merasa malu. Selalu saja, kedua sahabat Rezi kerap meledeknya.
“Diem lo berdua. Sana, tunggu gue di mobil,” usir Rezi mendorong badan Adit dan Bima agar segera menjauh. Keduanya hanya tertawa lalu berjalan menuju mobil Rezi, dan berpamitan sekali lagi kepada Reely.
Baiklah, sekarang di teras itu hanya ada dirinya dan Rezi. Udara malam yang makin dingin menyelinap menyentuh kulit-kulit hangat itu. Reely menikmati dinginnya malam ini karena dia suka sekali dengan udara dingin.
“Makasih ya, Kak, udah datang. Makasih udah bantu-bantu juga tadi.” Seperti biasa, dan selalu seperti itu, Reely berucap dengan senyuman manisnya. Sekarang, Reely tidak ragu lagi untuk mengeluarkan senyumannya.
“Sama-sama, Reely. Ehm, kamu besok mau lari pagi nggak?”
“Sama Kakak?” tanya Reely.
Tanpa berpikir, Rezi dengan cepat menjawab, “Kalau Tania mau ikut juga boleh.”
Mata Reely berbinar, sepertinya seru lari pagi bareng. Soalnya ia jarang sekali lari pagi karena seringnya hanya menjadi wacana. “Wah, Tania pasti mau, sih. Bisa kok, Kak, nanti Tania juga ikut karena kebetulan dia bakal nginap di rumah aku malam ini.”
Gue salah ngomong lagi, batin Rezi menjerit. Padahal, tadi ia menjawab bahwa jika Tania ingin ikut itu hanya spontanitas saja. Ia kan sedang ingin tahap pendekatan bersama Reely, kapan lagi bisa ajak gebetan lari pagi berdua. Hanya berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Resah Setelah Pisah
Teen FictionSelama 17 tahun hidupnya, Reely hanya memilki ayahnya-satu-satunya insan yang ia punya. Saat kehilangan-kehilangan pahit mulai menghampiri, ia sadar bahwa dirinya harus memperoleh kebahagiaan sendiri. Namun, luka-luka yang belum ia maafkan justru me...