Reely memasuki rumah dengan langkai gontai. Ia berhenti untuk memperhatikan sekeliling, terlihat bayangan kebahagiaan antara ia dengan ayahnya, canda tawa memenuhi ruangan rumah. Walaupun sejak Rendi dinyatakan harus dirawat intensif di rumah sakit, tetapi rumah tidak pernah terasa sesepi ini. Karena ia yakin bahwa ayahnya akan sembuh dan akan kembali ke rumah.
Namun, Rendi justru telah kembali pada Tuhan, bukan ke rumah kecilnya di mana Reely dibesarkan dan tumbuh dengan suka duka. Sulit rasanya menerima kenyataan pahit ini, hal-hal yang sudah direncanakan Reely untuk dilakukan saat ayahnya sembuh pun musnah diterpa angin. Tidak ada manusia yang baik-baik saja setelah mengalami kehilangan, Reely kembali menangis. Ia masih berharap bahwa semua ini hanyalah ilusi, bahwa saat nanti ia membuka mata dari tidurnya, ini hanyalah mimpi belaka.
Reely pernah berpikir bahwa hidupnya akan sia-sia tanpa ayahnya karena hanya beliau satu-satunya alasan Reely tetap tegar menjalani peliknya kehidupan. Sekarang, dengan alasan apa ia akan bertahan hidup? Ia bukanlah manusia yang pandai bersandiwara, mempertontonkan pada dunia bahwa dirinya tengah baik-baik saja, ia sama sekali tidak bisa, ia sama sekali tidak mampu.
“Ayah! Reely kangen, Reely enggak bisa jalanin ini semua!” Dipeluknya pigura berisi dua manusia yang tengah tersenyum manis mengarah kamera. Sekarang dan seterusnya, Reely tidak akan pernah melihat senyum itu lagi.
“Kamu kuat, Nak.” Tangis Reely terhenti saat mendengar suara itu. Ia mendongak, terkejut saat Rendi berdiri di depannya. Wajahnya sangat berseri, sangat indah, dan menawan. Apakah surga benar-benar memberinya kebahagiaan? Apakah makanan di sana sangat lezat sehingga badan ayahnya kembali bugar seperti saat belum divonis kanker?
“A-a-yah?”
Ayahnya berjongkok, membantu Reely untuk duduk di sofa. Reely tidak bisa mengalihkan pandangannya sedetik pun, ayahnya benar-benar terlihat sangat bahagia.
“Nak, apa pun yang terjadi, tetaplah cintai dirimu sendiri. Semua orang di dekatmu akan pergi pada waktunya, dunia hanya bersifat sementara, Nak. Kamu hanya perlu mempercayai Tuhan dan dirimu sendiri. Jika kamu tidak mempunyai alasan untuk hidup setelah Ayah tidak ada, maka kamu harus menjadikan dirimu sendiri sebagai alasan itu,” ujar Rendi dengan senyuman yang tidak pernah Reely lihat sebelumnya. Senyumannya terlihat berbeda, benar-benar cerah.
“Reely enggak bisa, Yah. Reely enggak bisa sendirian, Reely enggak bisa nyembunyiin kesedihan Reely dari semua orang, Reely enggak sekuat itu.”
“Kamu tidak pernah sendirian, Nak, kalaupun hanya kamu manusia yang tersisa di bumi ini, kamu tidak akan pernah sendirian karena Tuhan selalu melindungimu. Kamu bisa menumpahkan kesedihan kamu kepada-Nya. Singkatnya, hidupmu akan terasa lebih ringan jika kamu tidak pernah melupakan Tuhan.”
Reely memeluk ayahnya, menumpahkan segala derai rindu dan lara padanya.
“Berjanji ya sama Ayah?” Rendi mengacungkan jari kelingkingnya.
“Untuk?”
“Untuk selalu ingat pada Tuhan, selalu tersenyum, selalu bahagia, selalu memaafkan, dan selalu mencintai dirimu sendiri.”
“Walaupun Reely enggak tahu bagaimana ke depannya, tapi Reely akan coba,” Reely kembali menenggelamkan dirinya pada pelukan sang ayah.
“Untuk sekarang, mungkin kamu memang belum bisa, tapi nanti Ayah yakin bahwa Tuhan akan memberikanmu banyak sekali kebahagiaan. Kamu tahu? Ayah sangat bahagia di sana. Jika kamu berpikir bahwa selama kamu hidup kebahagiaan tidak pernah datang, maka kebahagiaan itu akan menghampirimu saat kamu kembali pada Sang Pencipta. Bahagia itu ada, Nak, ia nyata. Karena Tuhan tidak akan pernah lupa pada hamba-hamba yang selalu bertakwa.”
Reely menatap sang ayah. Ayahnya benar, Tuhan tidak pernah menyuruhnya untuk mencintai kehidupan, tetapi Tuhan menyuruhnya untuk mencintai-Nya, Tuhan akan memberikan segalanya pada hamba-hamba yang mencintai-Nya.
Reely menautkan jari kelingkingnya pada kelingking sang ayah, ia berkata, “Reely janji akan berusaha untuk tidak pernah lupa pada Tuhan, dan akan selalu mencintai diri sendiri.”
Rendi tersenyum lega, ia pun berdiri membuat dahi Reely berkerut. “Ayah mau ke mana?”
Rendi menoleh. “Ayah selalu sayang kamu, jangan bersedih atas kepergian Ayah lama-lama ya, Ayah sakit melihatnya. Ayah mau melihatmu bahagia, kamu harus melakukan janjimu ya.”
Belum sempat Reely menjawab, Rendi sudah lenyap dalam kilauan cahaya.
“Ayah!” teriak Reely dengan napasnya terengah-engah. Ia melihat sekeliling, dirinya tertidur di sofa. Reely memegang dadanya yang berdebar hebat, mimpi tadi terasa sangat nyata. Bahkan, posisinya pun sama saat ia memeluk ayahnya.
Reely menggeleng keras, ia pasti ketiduran, dan yang di mimpinya adalah ayahnya yang menyampaikan pesan untuknya. Ia teringat dengan semua ucapan ayahnya, termasuk dengan janji yang ia ucapkan pada ayahnya. Setelah deru napasnya tidak secepat tadi, Reely pun termenung. Ia harus tetap bertahan demi dirinya sendiri. Ia harus menjadikan dirinya sebagai alasan untuk menjalani hari-hari. Karena jika dirinya saja tidak ada kemauan, bagaimana tujuannya akan tercapai? Mampukah ia?
***
-Annida Salma Nabila
29 Juni 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Resah Setelah Pisah
Teen FictionSelama 17 tahun hidupnya, Reely hanya memilki ayahnya-satu-satunya insan yang ia punya. Saat kehilangan-kehilangan pahit mulai menghampiri, ia sadar bahwa dirinya harus memperoleh kebahagiaan sendiri. Namun, luka-luka yang belum ia maafkan justru me...