Manusia itu penuh dengan sejuta dosa. Mereka kerap kali melayangkan berbagai makian pada sesamanya, mengutuk keadaan yang semesta berikan, bahkan sampai menyalahkan Tuhan.
Manusia itu tak pernah bosan mencari kebenaran. Namun, saat Tuhan menghadirkan jawabannya, manusia justru menolak. Padahal, Tuhan adalah sebaik-baiknya Pengabul Doa.
“Reely Sayang, kamu udah pulang?”
Seorang wanita cantik dengan tubuh tinggi semampai keluar dari arah dapur rumah Reely. Dress merah melekat pada tubuh wanita itu dengan sangat pas. Jika orang-orang melihatnya, mungkin tidak akan mengira jika wanita itu telah berumur empat puluh tahun.
Namun, dalam benak dan pikiran Reely, tidak ada sedikit pun ia memuji penampilan wanita yang tengah berjalan ke arahnya. Sontak saja ia mengangkat tangannya ke depan, bermaksud menghentikan langkah wanita itu.
“Mau apa Anda ke sini?” tanya Reely menatap tajam sepasang netra berwarna cokelat terang itu.
Wanita itu diam sesaat. Rautnya menunjukkan bahwa ia terkejut dan atas sikap Reely padanya. Namun, sebisa mungkin ia kembali menampilkan senyumnya.
“Kamu kok nanya gitu? Ibu ke sini mau nemenin kamu, Sayang.”
”Ibu?” Reely ber-cih. “Saya kira, saya hanya mempunyai Ayah saja, soalnya sejak kecil saya tidak pernah merasakan bahwa Ibu saya itu ada.”
Mika—Ibu Reely langsung merasakan ada ribuan pisau yang menusuk jantungnya saat Reely berbicara demikian. Ia benar-benar menyesal karena tidak pernah memberikan pelukan hanya kepada anak satu-satunya. Ia ... memang sudah gagal untuk menjadi seorang ibu.
“Reely, Ibu bisa jelasin—” Ucapan Mika terpotong saat Reely melangkah pergi dan menaiki tangga. Ia hanya bisa menghela napas dan menyemangati dirinya. Inilah hasil dari apa yang ia tanam dahulu, sekarang yang ia lakukan hanyalah menebus kesalahannya. Walau pasti tidaklah mudah.
***
Dengan napas tidak beraturan, Reely menutup pintu kamarnya dengan kencang. Buru-buru ia melonggarkan dasi, melepas sepatu serta kaus kaki, dan langsung duduk di atas kasur. Sebisa mungkin ia atur napasnya, tetapi makin ia mengatur napasnya, justru rasanya pasokan oksigen di sekitarnya makin menipis.
“Ke-kenapa dia balik lagi?” lirihnya. Sungguh, ini tidak pernah terlintas sedikit pun di benaknya. Reely masih memiliki hati manusianya, tidak peduli sebanyak apa pun ia membenci ibunya, ada satu ruang kecil di ujung hatinya yang masih menginginkan sosok pelukan seorang ibu.
Namun, ini justru terlalu tiba-tiba baginya. Kenapa wanita itu datang terlambat? Untuk apa ia kembali? Jika saja ia kembali saat ayahnya masih ada, mungkin ayahnya bisa senang di detik-detik terakhir dalam hidupnya. Karena ia tahu sedalam apa cinta yang ditanam ayahnya kepada wanita itu.
“Gue benci dia, tapi kenapa rasanya sesak banget?” Reely benci dirinya yang seperti ini.
Tidakkah wanita itu tahu bahwa sudah sangat terlambat untuk menebus semuanya? Apakah wanita itu pikir ia bisa memaafkan kesalahannya dulu dengan mudah? Toh, kalaupun ia memaafkan, tidak akan ada yang berubah, masa kecilnya sudah terlewati tanpa kasih sayang seorang ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melukis Resah Setelah Pisah
Dla nastolatkówSelama 17 tahun hidupnya, Reely hanya memilki ayahnya-satu-satunya insan yang ia punya. Saat kehilangan-kehilangan pahit mulai menghampiri, ia sadar bahwa dirinya harus memperoleh kebahagiaan sendiri. Namun, luka-luka yang belum ia maafkan justru me...