Chapter 12 ; Abandonner

601 97 17
                                    


Hi! Apa kabar?
Masih pada nungguin story ini?

Kalau iya, hope you guys enjoy it and leave your support too. Happy reading~

Kedua netra bulat sebening kristal itu menatap kosong ke arah hamparan langit malam di atasnya. Disana, bintang-bintang berhamburan indah dengan kerlipnya yang memanjakan mata. Sang rembulan juga ikut menyapa dunia dengan anggunnya. Sepertinya suasana hati alam semesta tengah berbahagia sekarang.

Tapi kenapa baru berbahagia setelah merenggut salah satu alasan kebahagiannya?

"Jungkook-ah, ayo makan dulu." suara Minghao mengintrupsi. Namun seolah tak didengar oleh pemuda bergigi kelinci yang kini masih betah merenung dengan tubuhnya yang berbaring letih di atas pasir pantai.

Jaehyun yang melihatnya segera menghampiri Minghao, menepuk bahu pemuda berdarah China itu sebelum menariknya menjauh dari Jungkook.

"Dia butuh waktu untuk sendiri, Hao-ya." begitulah yang Jaehyun ucapkan saat Minghao ingin memprotesnya.

Masih berdiam pada posisi awalnya, air mata mulai menggenang memenuhi pelupuk matanya. Kejadian mengerikan beberapa jam yang lalu kembali terputar memenuhi benaknya. Bayang-bayang tentang keras kepalanya untuk menemukan kalung pemberian sang kakak kembali membuatnya merasa bersalah.

"Hei~"

Tunggu dulu?

Jungkook yang mulanya merenung sontak mengalihkan atensinya untuk melirik sekitarnya. Mencari sumber suara yang tadi sempat melintas memenuhi pendengarannya. Tapi sejauh apapun dirinya memandang, tidak ada siapapun di dekatnya. Jaehyun dan Minghao duduk cukup jauh dari tempatnya berbaring sekarang.

"Sudah aku bilang jangan menyalahkan dirimu bukan? Aku tak apa, Jungkook-ah. Tolong bertahan kemudian sampaikan salam sayangku pada kedua orang tuaku di rumah. Terutama pada Cheol hyung. Katakan adiknya ini sangat menyukai semua omelannya."

Suara itu kembali terdengar. Sangat nyata kalau itu hanya dikatakan sebagai khayalannya belaka. Jungkook bangkit, berlari ke arah tubuh Mingyu yang dibaringkan di atas alas kayu dirakit oleh Jaehyun sebelumnya.

"Gyu." hanya satu kata yang terucap, namun seluruh pertahannya berhasil runtuh seketika.

Air matanya mengalir bebas, dengan bibir bergetar serta isakannya yang mulai terdengar. Jungkook mengulurkan tangannya, menyentuh pipi sang sahabat yang kian memucat.

Dingin. Itulah hal pertama yang Jungkook rasakan saat telapak tangannya menyentuh kulit sang sahabat yang kini tertidur dengan damainya.

"Ayo bangun." lirihnya yang masih tak bisa menerima kejamnya takdir.

"Kau mau aku bertahan? Bagaimana bisa aku bertahan tanpamu? Kau yang selalu menjagaku, kau juga yang selalu menuntunku. Lalu bagaimana bisa aku bertahan sampai akhir kalau kau saja sudah menyerah?"

Kepala itu tertunduk, merasakan sesak yang perlahan menjalar memenuhi rongga dadanya.

"Apa yang harus aku katakan pada Cheol hyung nanti, Gyu? Bagaimana bisa aku menampakkan wajahku di hadapan Paman dan Bibi nanti? Gyu, ku mohon ayo bangun."

Tangan yang mulanya mengusap pipi dingin sang sahabat, kini beralih untuk mengguncang pelan tubuh Mingyu.

"Gyu, ayo bangun!! Cepatlah!"

Teriakan histerisnya berhasil mengambil alih atensi Minghao dan Jaehyun yang posisinya tak jauh dari tempat Mingyu dibaringkan. Kedua pemuda itu lantas berlarian mendekat ke arah Jungkook yang kini semakin mengguncang tubuh Mingyu dengan keras.

Jaehyun secara spontan meraih lengan Jungkook, merengkuh tubuh sang sahabat kemudian menariknya mundur menjauhi tubuh kaku sahabat mereka yang lain, Kim Mingyu yang kini sudah tertidur dengan tenang.

"Tenanglah, Kook. Tenang." gumam Jaehyun beberapa kali sambil terus mengeratkan pelukannya saat Jungkook mencoba untuk memberontak.

"Kau tidak paham, Jae! Bagaimana aku bisa tenang kalau Mingyu saja terus tidur kaku seperti itu! Bagaimana huh?!"

Biarlah dirinya dikatakan lemah. Atau gila sekalipun. Jungkook tak peduli. Dia hanya ingin Mingyu bangun. Dia belum bisa menerima fakta kalau Mingyu, sahabatnya sudah berpulang karena direnggut paksa oleh marahnya alam semesta.

"Mingyu sudah tiada, Kook! Dia sudah tiada!" Minghao yang sedari berdiam diri akhirnya membuka suara. Membentak Jungkook dengan air matanya yang juga mulai mengalir.

Mereka terpukul. Bahkan sangat terpukul. Semenjak bangun dari pingsannya, Jungkook hanya merenung dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Minghao dan Jaehyun mencoba mengerti posisi Jungkook sekarang. Namun tidak dipungkiri juga kalau mereka sama tersiksanya karena kehilangan Mingyu untuk selamanya.

"Kami juga sama terpukulnya denganmu! Kami juga kehilangan Mingyu. Tapi mau bagaimana lagi? Apa dengan berteriak juga mengguncang tubuhnya maka Mingyu akan bangun? Maka jawabannya tidak, Kook. Tidak akan pernah!"

Minghao menghapus air matanya. Tertawa kecil pada akhir kalimatnya saat mendengar suara deburan ombak yang seolah mengejeknya. Sakit, dia juga merasa sangat sakit kalau harus melihat Jungkook terpukul seperti sekarang ini.

Maka jalan satu-satunya yang bisa membuat Jungkook sadar pada kenyataan adalah dengan cara ikut berteriak. Mengeluarkan setiap keluh kesahnya agar sang sahabat mau mengerti.

"Kau terlalu asik dengan rasa bersalahmu sampai melupakan fakta kalau kami juga sahabatmu. Kita bahkan bukan kehilangan Mingyu saja, apa kau mengingat siapa yang ikut menghilang setelah gelombang itu berakhir?"

Minghao menjeda kalimatnya. Mendongak ke atas guna menghalau air matanya yang kembali siap meluncur bebas bersamaan dengan sesak yang mengepul mendera menciptakan rasa sakit.

"Eunwoo. Kita juga kehilangannya, Kook. Kita bahkan tidak tau dimana dan bagaimana kondisinya sekarang." sambung Minghao dengan suaranya yang semakin bergetar lirih.

Benar. Dia terlalu larut dengan rasa bersalahnya juga sesak akan fakta kepergian Mingyu sampai melupakan sahabatnya yang lain.

Jaehyun melepas rengkuhannya saat merasakan tubuh Jungkook yang perlahan melemas, bahkan kini jatuh terduduk di atas pasir dengan tatapan matanya yang kian mengosong.

Hancur. Satu kata itu sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana perasaan tiga orang pemuda yang kini terdampar di tengah luasnya hamparan laut.

Menemukan pulau kecil bukan berarti alam memaafkan mereka. Yang ada tetaplah permainan penuh kejutan yang berhasil merenggut perlahan semua semangat yang mereka miliki sebelumnya.

Kalau begini caranya, apa mereka boleh menyalahkan takdir? Atau Sang pencipta sekalipun?

Rasanya sangat sakit hanya untuk sekedar bernafas saat mereka menyadari fakta kalau alam sudah merenggut dua fondasi mereka sekaligus hanya dalam satu kedipan mata.

"Bagaimana kalau kita menyerah saja pada alam? Menyusul Mingyu dan Eunwoo sepertinya bukan pilihan yang buruk."

==========
To Be Continue.

Seperti biasanya, cuma mau minta dukungan dari kalian ^^

Jangan lupa vote & comment kalau kalian suka sama book ini ya. And, thank you buat kalian yang masih setia nungguin book ini update <3

Xoxo💘

Law Of Attraction Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang