"Pak, bisa agak cepet dikit nggak Pak?" Berulang kali Chika meminta driver ojek online yang ia tumpangi untuk menambah kecepatan kendaraannya.
"Haduh, lagi macet gini Mbak, susah buat nyalip."
"Please Pak, rada cepet dikit ... aja. Nanti saya telat upacara loh," pinta Chika memelas.
"Kalau lewat jalan tikus saja gimana?"
"Iya Pak, gak apa-apa yang penting cepet sampai ke sekolah."
Driver ojek online itu mengarahkan motornya memasuki gang perumahan. Dengan tingkat ketelitian yang tinggi driver itu melewati belokan yang kian banyaknya. Setelah 5 menit, akhirnya mereka kembali ke jalan besar dan terbebas dari macet.
Setibanya di depan sekolah, Chika buru-buru turun dan membuka helm. "Pak, udah dibayar sama Mama saya lewat aplikasi. Makasih ya Pak." Ia serahkan helm itu kepada sang driver dan segera berlari menuju lapangan upacara. Chika menggeletakkan tasnya di depan kelas yang bersebelahan tepat dengan lapangan upacara, tak ada waktu untuk menaruh ke kelasnya terlebih dahulu. Ia mengambil topi dan berlari menuju barisan. Chika mengambil barisan tepat di sebelah Cellin, sahabatnya.
Cellin otomatis menoleh karena terkejut dengan kedatangan Chika di sebelahnya. "Tumben telat," ujarnya yang menuntut sebuah penjelasan.
Sedangkan yang ditanya masih menunduk dengan napas yang ngos-ngosan. Chika mengangkat tangan kanannya, sebagai tanda untuk memberikannya jeda waktu guna mengatur napas. Selang semenit bersamaan dengan protokol membacakan susunan upacara, napas Chika berangsur tenang. Ia mengangkat kepala, memasang topinya seraya menoleh ke arah Cellin. "Gue kalap, belajar semalaman tadi malam sampai jam 3 baru tidur," jelasnya.
"Orang mah kalap begadang buat main game, main sosmed. Kalau lo buat belajar. Curiga gue, lo emang bener-bener keturunan Albert Einstein." Cellin menggeleng-gelengkan kepalanya heran.
Chika terkekeh lirih. "Bukan keturunan Albert Einstein tapi keturunan kakek Atdir," jawabnya menyebutkan nama sang kakek.
"Yeeu ...." Cellin memutarkan matanya. "Oh iya, gue pengin cerita. Tapi nanti deh. Pas di kelas."
"Soal apa? Jangan bilang cowok baru!" tanya Chika menelisik dengan suara lirih.
Cellin menyengir. Artinya memang benar dugaan Chika. Keduanya terdiam, mengikuti dengan hikmat jalannya upacara dengan panas pagi yang cukup terik.
Upacara rasanya berjalan kian lama, kini telah berjalan 10 menit. Dan kepala sekolah, bapak Wahid tengah menyampaikan amanat. "Salah satu siswi kita, baru saja menorehkan prestasinya di olimpiade matematika tingkat SMA swasta se-provinsi minggu kemarin. Dan yang lebih membanggakannya ia memperoleh juara 1. Selamat buat ananda Eyelin Anchika Christabella."
Semua peserta upacara bertepuk tangan.
"Kepada ananda Chika, dipersilakan maju ke depan untuk menerima piagam penghargaan."
Chika dengan penuh percaya diri berjalan menuju depan, tak urung semua mata memandangnya. Ia kini berdiri di sebelah kepala sekolah dengan kedua tangannya memegang piagam tak lupa tersenyum manis menatap sebuah kamera yang tengah mengabadikan momen ini. Setelah menyalami pak Wahid, gadis itu berjalan menuju ke barisan semulanya. Namun, di tengah perjalanan, mata Chika menangkap sosok asing di barisan laki-laki kelasnya.
"Cie, congrats tayangku," ujar Cellin kala Chika sampai di sebelahnya.
"Hehe ... makasih," balas Chika malu-malu. Gadis itu kembali melihat ke barisan cowok kelasnya; penglihatannya tidak salah, memang benar ada laki-laki asing. "Lin." Ia memanggil Cellin.
KAMU SEDANG MEMBACA
matema(CH)ika
Teen FictionKehidupan Chika yang sempurna sebagai murid teladan, paling pintar serta kesayangan para guru di sekolah mendadak berubah sejak kedatangan siswa pindahan yang bernama Chiko. Dalam waktu singkat, predikat tersebut diambil oleh cowok berkacamata itu...