ՈIIIIII

10 0 0
                                    

Sepi masih menggambarkan keadaan kelas untuk saat ini. Hanya beberapa yang baru sampai ke sekolah. Walaupun begitu perdebatan Cellin dan Arthur mengubah kata sifat keadaan menjadi sebaliknya. Menjadi ramai sebab keributan keduanya.

"Kalau bisa kayak gitu harusnya bisa kayak gini dong?" Cellin marah-marah di depan bangkunya, menatap Arthur bengis.

"Ya gimana? Udah dari sananya ketentuannya kayak gini!" sahut Arthur ikut terpancing emosinya meladeni Cellin.

"Bodo deh Thur. Males gue."

"Ya udah seterah ...," balas Arthur sekenanya meninggalkan Cellin yang masih cemberut di depan bangkunya.

Chika yang baru saja datang dan memasuki kelas, langsung mengerutkan dahi sedikit mendengarkan peributan sang sahabat dengan ketua kelas. "Kenapa sih Lin?" tanyanya seraya menggelatakkan tasnya ke meja.

"Tahu tuh Arthur. Gak jelas banget."

"Masalah apa?" Chika duduk di bangkunya.

"Gara-gara pembagian kelompok. Gue pengin pindah kelompok, tapi gak bolehin sama Arthur."

"Kenapa pindah? Mau pindah ke kelompok berapa emang?" tanya Chika sambil mengeluarkan buku paket matematikanya dari dalam tas.

Cellin duduk ke bangkunya, lalu ia mendekat ke Chika dan membisikkan sesuatu, "Pindah ke kelompok Idra."

Chika terkejut. "Hah? Seriusan?"

Cellin menanggapinya dengan mengangguk.

"Tapi kalau lo udah sekelompok emang pasti Idra mau datang kerja kelompok atau minimal diskusi lah?"

Garukan di kepala Cellin menjadi sebuah jawaban. "Ya nggak sih ... tapi gimana lagi namanya juga usah Chik." ujarnya lesu. "Eh ... tapi kan gue bisa hasut bu Dona biar bantuin nyuruh kerja kelompoknya ke rumah Idra atau nggak dia musti datang kerja kelompok."

"Yah ... tapi kan lo gak dibolehin sama Arthur pindah kelompok."

Cellin mendesah.

 "Kenapa nggak pakai cara lo yang tadi aja buat pindah kelompok? Hasut bu Dona?"

"Ah iya juga ya ... pinter banget sih lo Chik!" girang Cellin. Ia langsung beranjak dari kursi.

"Mau ke mana?"

"Nemuin bu Dona di ruang guru." Cellin sedikit berlari ke luar kelas. Sampai di depan papan tulis, ia menyempatkan buat menoleh ke Arthur dan menjulurkan lidahnya. "Arthur gue gak perlu bantuan lo, gue bisa minta izin sendiri langsung ke bu Dona, Wle."

"Bodo ...," sahut Arthur.

Chika hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pelan melihat kelakuan kedua temannya itu.

Cellin kembali berlari dan tanpa sengaja di depan kelas ia menabrak Chiko hingga mereka sama-sama terjerambab ke lantai. Posisi tangan Chiko ke belakang, menahan tubuhnya agar tidak terlalu keras menghantam ke lantai. "Aduh Ko, maaf. Lo nggak apa-apa kan?" tanya Cellin panik langsung mengecek dengan memeriksa tangan Chiko.

Chiko hanya mengeryit. "Oh nggak-nggak. Gue gak apa-apa," kata lelaki itu tak mau memperpanjang urusan.

"Oke, sorry ya ...." Cellin kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang guru. "Kalau nggak karena mau bantuin Chika, ogah gue sok manis perhatian gitu ...," dumelnya sepanjang jalan mengingat kejadian awkward tadi.

•••

Selepas dari mengantarkan buku ke ruang guru, Chika melihat Amir di kelasnya. Mendengar nama mantan pacar sahabatnya itu saja sudah malas, apalagi melihat sosoknya dari dekat. Amir tengah berada di depan bangku Cellin yang itu artinya di depan bangkunya juga. Jadi mau tak mau Chika harus ke sana. Amir tengah membujuk Cellin dengan segala rayuan sendunya. Jujur, Chika jadi geli sendiri.

"Maaf, permisi," ujar Chika ke Amir hendak menuju bangkunya.

Tapi belum juga Chika lewat, Amir sudah memegang lengan kanannya erat dan menarik tepat di hadapan Cellin. "Chik, tolong bantuin gue bujuk sahabat lo biar mau maafin gue. Beneran gue kemarin khilaf."

Apa? Tawuran karena khilaf? Chika melepaskan cekalan tangan Amir. Ia sudah malas menanggapi Amir dari awal apalagi mendengar pernyataan lelaki itu yang menjelaskan bahwa perbuatannya hanya khilaf semata. "Gue gak bisa bantu maaf," ujarnya.

"Please, Chik bantuin gue." Amir tiba-tiba berlutut di hadapan Chika? Tunggu ... ini maksud Amir? Dia tengah meminta bantuan Chika agar Cellin memaafkannya, tapi kenapa ia malah berlutut ke Chika? Kenapa nggak ke Cellin saja? Toh Chika seandainya mau juga jadi perantara, keputusan tetap ada di Cellin.

"Lo nggak perlu sampai berlutut gitu."Chika merasa aneh. "But, sorry to say, gue sama Cellin emang sahabatan tapi kalau masalah dia mau maafin lo atau nggak, itu haknya Cellin."

"Lin, masa lo tetep gak mau maafin gue? Gue udah bersujud, udah mohon-mohon minta bantuan ke temen lo."

"Sorry Amir, lo aneh banget." Cellin terkekeh. "Balik ke kelas lo aja deh."

"Chik ayo dong bantu bujukin Cellin. Lo nggak kasihan sama gue." Tangan Chika kembali di cekal.

"Tapi Cellinnya aja gak mau maafin lo."

"Mau Chik, iya kan Lin? Lo maafin gue?"

"Apa sih Mir? Udah deh lo balik ke kelas lo aja!"

"Chika ... please bujuk sahabat lo."

Chiko tiba-tiba mendekat ke mereka. "Maaf ... tapi kayaknya lo gak bisa deh maksa orang buat maafin lo. Ini udah termasuk pemaksaan loh ...." Ia ikut menimbrung.

"Yap, gue setuju sama Chiko," sahut Chika.

"Gue juga." Cellin menimpali. "Lebih baik lo keluar aja deh Mir. Gue belum bisa maafin lo apalagi balikan. Semoga dapat cewek hebat ya, tapi kayaknya lo gak bisa dapat cewek yang lebih baik dari gue," ujarnya mantap.

Amir menghela napas lalu ia pergi keluar dari sana dengan tampang lesu dan terluka tentunya. Semoga saja Amir selepas kejadian ini tidak dendam dengan mereka bertiga, harap Chika. Tapi kalau Chiko gak apa-apa sih, biar dia nggak niat lagi ikut olimpiade matematika.

Setelah kepergian Amir, Chiko melipir kembali ke bangkunya.

"Chiko thank you ya, udah nolongin kita," teriak Cellin.

"Iya."

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 30, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

matema(CH)ikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang