IIII

15 4 0
                                    

Holaaaaaaa. Happy friday❤️

Sebelum baca vote dulu ya, terima kasih🙌

Tandai kalau ada typo.

***

"Denger desas-desus kayaknya bentar lagi seleksi pemilihan perwakilan buat olimpiade matematika tingkat Nasional." Cellin memandang Chika sambil meminum es jeruknya.

"Iya kayaknya bentar lagi." Chika memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih tegak. "Kali ini gue bakal belajar mati-matian. Masih nggak terima gue tahun lalu kalah sama kakak kelas gara-gara nilai tes beda 1 poin! Cuma 1 poin astaga!" kesalnya.

"Tenang Bu, tenang. Tarik napas, embuskan perlahan ... anyway, saingan lo kali ini siapa aja ya?" Cellin menerawang.

"Kalau dari kakak kelas sih otomatis gak ada. Yang pasti saingan gue dari angkatan kita sama adik kelas. Kalau dari angkatan kita paling orang-orangnya yang kemarin."

"Belum tentu. Bisa aja kan nambah atau malah berkurang."

"Kalau kurang syukur, kalau nambah jangan sampai!"

"Tapi lo emang mesti belajar mati-matian sih, dari adik kelas, lo gak tahu potensi mereka kayak apa. Terus kalau dari angkatan kita sih, semisal gak ada penambahan lo-nya jangan lengah! Mana tahu mereka juga lagi mati-matian belajar," nasihat Cellin.

Mata Chika berbinar-binar. "Demi apa sih lo jadi motivator ulung gini! Ya ampun sahabat gue udah berubah!" Chika heboh sendiri.

"Hahaha, efek pacaran sama Amir nih, bener deh tiap hari dia tuh sering kasih motivasi gitu, makanya gue sering ke bawa-bawa." 

"Wow. Serius? Seorang Amir?"

"Yaps. Dia sering kasih motivasi biar gue rajin belajar, nggak malas-malasan." Cellin menyesap es jeruknya lagi. "Lo tahulah, belajar musuh terbesar gue. Selain itu timbal baliknya gue juga sering ingetin dia buat berubah, biar nggak sering ikut tawuran. Kalau menurut lo, berlebihan gak sih gue? Apalagi hubungan kita 'kan masih sebatas pacar." Cellin tiba-tiba serius.

"Nggak berlebihan lah! Udah bener banget apa yang lo lakuin. Emang seharusnya lo ingetin Amir, kelakuannya tuh udah meresahkan banget. Wajar kali kalau lo ingetin ke arah yang lebih baik. Kalau ke arah jelek yang gak wajar."

"Iya sih. Tapi gue juga ancam dia, kalau dia ikut tawuran lagi terus dia sampai bonyok-bonyok bakal gue putusin. Sumpah itu cuma ancaman doang, gue gak serius pengin putus dari Amir. Kalau hal itu beneran kejadian gue mesti gimana?" rengek Cellin.

"Chik! Chik!" Arthur tiba-tiba menghampiri kedua perempuan yang tengah curhat itu.

Nuansa sedih Cellin langsung luntur karena kedatangan lelaki itu. "Ganggu acara curhat gue aja lo!" kesalnya menatap Arthur.

"Lah kenapa nyalahin gue?"

"Ya gara-gara lo suasana sedih cerita gue hilang."

"Udah-udah," lerai Chika. "Kenapa Thur?" tanyanya.

"Lo dipanggil Mr. Andi di ruang guru. Disuruh ke sana sekarang."

"Oh oke. Thanks ya."

"You're welcome," balas Arthur seraya meninggalkan kedua perempuan itu. Tak lupa ia melirik sinis Cellin.

Tak mau kalah, Cellin balas melirik sinis lelaki itu.

Chika beranjak dari duduknya. "Mau ikut?" tawarnya kepada Cellin.

"Nope. Gue mau ke kelas, mau live Instagram." Cellin ikut beranjak. "Eh Chik, pokoknya nanti sambung curhat lagi!"

"Iya Cellin."

***

Mr. Andi tengah berbincang dengan seorang siswa, Chika melihatnya dari ujung pintu ruang guru.

Mr. Andi yang mendapati siswinya itu dari kejauhan langsung cepat ia panggil, agar segera mendekat. "Sini Chika!"

Siswa yang berhadapan dengan Mr. Andi ikut menoleh ke arah Chika.

Chika bergumam, ternyata si cowok kacamata: Chiko. "Kenapa ya Mister?" tanyanya seraya menyalami guru matematika itu. Ia berdiri di sebelah Chiko.

"Jadi gini, sebentar lagi kan olimpiade matematika tingkat nasional, jadinya saya minta kalian berdua ikut tes seleksi. Tahun ini seleksinya beda dari tahun kemarin, kalau tahun kemarin kan siapa saja bebas boleh ikut tes, kalau sekarang dipilih. Setiap guru matematika memilih 2 orang buat ikut tes. Saya sudah tahu potensi kamu Chika dan saya juga sudah melihat potensi kamu Chiko selama kamu masuk di sekolah ini dalam beberapa minggu ini. Saya berharap kalian berdua bersedia ikut tes seleksi."

"Jumlah peserta yang dipilih masih sama seperti tahun kemarin Mister?" tanya Chika.

"Beda. Kalau tahun kemarin cuma satu orang yang dipilih, kalau sekarang dua orang. Sesuai ketentuan terbaru dari pusat, tahun ini setiap sekolah boleh mengirimkan dua kandidat. Tapi penilaian tes seleksi masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, diambil dari nilai yang paling tinggi," terang Mr. Andi.

"Apa nanti akan ada bimbingan belajar langsung dari guru sebelum tes atau sebelum olimpiade, Mister?" Kini Chiko mengajukan pertanyaan.

"Kalau sebelum tes sebenarnya tidak ada, tapi karena saya yang memilih kalian berdua nanti saya kasih sub bab materi yang biasanya keluar waktu tes seleksi. Bimbingan belajar sendiri biasanya diberikan kalau peserta olimpiadenya sudah terpilih." Mr. Andi menatap kedua muridnya. "Tapi kalian berdua bersedia ikut kan?"

"Iya, Mister," jawab keduanya kompak.

Tak ada satu pun yang tahu bahwa dari jawaban Chika tersempil ketidakterimaan yang kuat.

"Siapkan diri kalian baik-baik ya, belajar sungguh-sungguh. Besok pagi sub bab materinya saya kasih. Sekarang kalian boleh kembali ke kelas."

"Siap Mister," jawab Chika seraya menyalami Mr. Andi.

Chiko pun juga turut menyalami guru matematika itu.

Kini Chika dilanda kegundahan. Ia tengah bersungut-sungut dalam hati. "Enak banget sekarang dua kandidat yang dipilih! Kenapa tahun kemarin nggak dua orang juga sih! Kalau tahun kemarin yang dipilih dua orang, gue pasti ikut kepilih kan! Mana nilai gue sama tuh kakel cuma beda 1 poin lagi!"

"Chika, Chika, Gue mau nanya soal tes seleksi ini dong." Chiko menginterupsi kegiatan mendumel Chika.

Chika menoleh, menatap Chiko seksama. "Maaf Chiko, jangan sekarang. Gue pusing, mau ke WC." Gadis itu langsung berbelok ke arah toilet.

Chiko menatap heran kepergian gadis itu.

***

matema(CH)ikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang