PENULUSURAN HARI KETIGA
Chika menyenderkan tubuhnya di pilar koridor kelas 10 IPS--berhubung kelas itu dekat dengan parkiran. Ia melirik ke deretan motor yang terparkir di sana, namun fokusnya mengarah ke Chiko yang mulai menaiki motornya. Chika tengah menunggu ojek online-nya sembari mengamati musuhnya itu lekat. Hari ini ia berencana untuk mengikuti Chiko lagi, mencari lebih dalam seluk-beluk lelaki itu. Mungkin penulusurannya hari ini akan berbuah manis. Semoga.
Satu pesan masuk dari driver ojek online pesanannya. Bersamaan dengan itu Chiko mulai meninggalkan kawasan parkiran. Chika mengambil langkah seribu, berlari cepat menghampiri ojolnya. Setelahnya, ia langsung beringsut naik dan memasang helm cepat. "Pak, tolong ikutin motor hitam itu ya Pak," ujar Chika menunjuk motor yang dikendarai Chiko.
"Siap Neng," balas sang driver patuh. Motornya pun bergegas menyusul motor Chiko, takut kehilangan jejak. "Itu pacar ya Neng?" tebaknya.
Chika terkesiap. "Bukan Pak, bukan. Temen saya," jawabnya gelagapan.
"Kenapa atuh diikutin?" tanyanya penasaran.
"Oh itu Pak ...." Chika memutar otak. "Buku saya nggak sengaja ke bawa, mau saya minta. Soalnya saya nggak tahu alamat rumahnya," alibinya.
Sang driver ber-oh-ria. "Ini dideketin aja apa gimana Neng?"
"Jangan Pak, jangan!" Chika panik. "Kita ikutin dari belakang aja."
"Siap-siap."
Sang driver tetap menjaga jarak aman dari motor Chiko. Chika mengamati sekitar, kini mereka sampai di kawasan halte Diponegoro--halte pemberhentian kemarin--dan Chiko tiba-tiba berbelok dan menghentikan motornya di depan sebuah toko yang berada di sebrang halte. "Pak, Pak, berhenti di halte sini aja Pak," ujar Chika sedikit panik--takut jika sang driver ikut menghentikan motornya di depan toko itu mengikuti Chiko.
"Oh iya Neng." Lalu driver menurunkan Chika sesuai permintaannya.
Chika mengambil ponselnya di tas. "Saya bayar lewat aplikasi ya Pak. Bisa di cek dulu," ujarnya sambil melakukan transaksi digital tersebut.
"Iya Neng, sudah masuk. Terima kasih Neng."
"Iya Pak, terima kasih kembali." Chika mengantongi ponselnya. Ia mendudukkan dirinya di halte itu, lalu memutuskan untuk mengamati Chiko dan menunggunya keluar dari sini. Ia tak berani menyusul Chiko ke sana--sama saja bunuh diri--karena ia sendiri bahkan tak tahu toko apa yang tengah dikunjungi Chiko. Ia bisa planga-plongo sampai sana jika nekat pergi.
Sudah 45 menit Chika duduk di kursi halte ini, bahkan 3 bus sudah melewatinya. Cuaca tengah tak bersahabat, matahari menyinari dengan terik, peluhnya sedari tadi menetes, membasahi baju seragamnya dan Chiko belum menunjukkan tanda-tanda akan keluar dari toko itu. Chika menyerah, ia menyebrang menghampiri kios penjual minuman dingin di sebelah toko yang kunjungi Chiko--tidak bersebelahan tepat, berjarak dua ruko--untuk menghilangkan dahaganya. Dari sini ia dapat melihat banner toko yang dikunjungi musuhnya tersebut yang tulisannya mulai memudar. Caffe Buku.
***
"Kenapa sih Dek, sekarang lagak-an gak mau dijemput? Kamu diantarin pulang sama pacar kamu ya?" tebak mama seraya menatap anak bungsunya yang tengah mengisi tumbler botol minumnya itu.
"Pacar apa sih Ma!" sahut Chika tidak terima. Ia melepas keran dispensernya, tumblernya sudah terisi penuh lalu menutup tumblernya tersebut dengan erat. "Lagi belajar mandiri. Biar besok kuliah udah kebiasaan pulang sendiri. Biar Mama gak buru-buru juga pulang dari kantor." Chika memasukkan tumblernya ke dalam tas selempang yang akan ia kenakan untuk pergi les. "Ini mau ngaterin atau Adek pesen Ojol aja?" Ia menatap sang mama lekat.
"Cepet! Mumpung Mama lagi baik." Mama beranjak, mengambil kunci mobil yang bertengger di nakas dekat kulkas."Dih, tadi juga Mama yang galau karena gak bisa jemput aku!" ejek Chika menyusul mamanya yang sudah berjalan keluar duluan.
***
Pulang les, Chika dijemput Cellin. Sahabatnya itu mengajaknya pergi ke Mall. Katanya Cellin masih galau karena perpisahannya dengan Amir dan putusnya pertemanan dengan Idra yang dilakukan laki-laki itu secara sepihak. Wajar saja jika Cellin masih stuck dengan kandasnya kisah cintanya dengan Amir. Kalau putusnya pertemanan dengan Idra tak perlu ditanya lagi seberapa galaunya. Chika sendiri juga masih sama galaunya dengan perkataan Idra kemarin, tapi ia lebih memilih memendam emosinya, tidak mempertunjukkan kesedihannya.
"Arthur tadi ngasih gue share loc, di sekitar jalan Antapani," ujar Cellin seraya mengulurkan ponselnya ke Chika dengan tangan kirinya--tangan kanannya sibuk memegangi setir mobil. "Katanya dia nggak sengaja lihat Idra di sana sama Pak Afruh ... bokapnya Amir." lanjutnya dengan nada keraguan dalam pernyataannya, menyebut nama ayah mantannya itu.
"Pak Afruh?" Chika dalam keterkejutan bukan main. "Kok bisa?" tanyanya tak percaya menatap Cellin sekilas, lalu ia memperbesar tayangan Google Maps di ponsel sang sahabat, memastikan alamat yang diberikan sang ketua kelas.
"Nah itu, aneh kan." Cellin membuka kaca jendela mobilnya, lalu melongokkan kepalanya memencet tombol palang penjaga parkir otomatis; mengambil kartu karcis parkirnya. "Gue sama Arthur tadi nebak mungkin nggak sih kalau Idra ada hubungan kerabat sama Amir?"
"Nggak lah. Gila." Chika menolak hipotesis yang diberikan Cellin. "Kalau kerabat tuh pasti ada tegur sapa atau apa kek gitu. Idra sama Amir aja kayak orang asing. Seinget gue, waktu Idra masih main sama kita--ke mana-mana selalu sama kita, gak pernah gue lihat Idra komunikasi sama Amir, secuil pun!" ucapnya menggebu-gebu.
"Iya juga sih, tapi masalahnya tuh kok bisa seorang Idra pergi sama pak Afruh? Pak Afruh Chik! Salah satu pendiri SMA Dasadarma!" Cellin masih teguh dengan hipotesisnya, dengan dugaan yang ia susun bersama Arthur. "Nggak mungkin 'kan, cuma gara-gara Idra anak SMA Dasadarma diajak jalan sama pak Afruh? Gak mungkin 'kan kalau pak Afruh sengaja belanjain ...." Cellin menjeda ucapannya, kepalanya pusing dipenuhi kemungkinan, ia memutarkan setir mobilnya memasuki basement mall.
"Hust! Sembarangan!" tegur Chika yang tahu ke arah mana pemikiran sang sahabat.
Cellin tertawa. "Ya bisa aja kan ... tapi jangan sampai lah. Gue gak ikhlas kalau Idra beneran kek gitu."
"Amit-amit." Chika bergidik. "Kalau Idra gak sengaja ketemu sama pak Afruh kan bisa aja. Ini juga kenapa Arthur cuma ngirim share loc aja sih?! Gak ada foto atau apa kek!"
"Gak ada. Kata Arthur dia juga nggak sengaja lihat Idra sama pak Afruh di pinggir jalan." Cellin terkekeh.
Chika menjitak dahi sahabatnya, hingga sang empunya merintih kesakitan. "Nah kan! Bisa aja nggak sengaja ketemu di jalan! Udah ngefitnah mantan temen, ikut ngefitnah papanya mantan pacar plus pendiri sekolah pula!" ucap Chika kesal.
Cellin makin terbahak-bahak. "Sadis juga gue, putus dari Amir malah ngefitnah bokapnya."
Chika mendengkus lalu ikut tertawa mendengar penuturan sang sahabat.
***
Here we go again!
Kayaknya bentar lagi bakal slow update yang bener-bener slow, soalnya masa liburan bentar lagi habis :(
Sudah mau masuk semester baru, but still online ಥ‿ಥStay safe y'all!
Selalu taati prokes!
KAMU SEDANG MEMBACA
matema(CH)ika
Teen FictionKehidupan Chika yang sempurna sebagai murid teladan, paling pintar serta kesayangan para guru di sekolah mendadak berubah sejak kedatangan siswa pindahan yang bernama Chiko. Dalam waktu singkat, predikat tersebut diambil oleh cowok berkacamata itu...