Jangan lupa vote, komen dan bagikan cerita ini kepada teman, mantan, keluarga, gebetan, pacar virtual dan yang lainnya.
Tandai kalau ada typo.
Happy Reading.
***
Chika dan Cellin pasrah. Mereka semakin digiring maju. Namun tiba-tiba cekalan di tangan mereka lepas. Dean ambruk. Lelaki ber-hoodie dan bermasker hitam membawa mereka berlari menjauhi kerumunan tawuran itu.
"Lari ke tempat aman! Dua orang ngejar!" ujar lelaki itu seraya menoleh ke belakang. Lalu ia melihat celah sempit di sudut salah satu bangunan, ia memperkirakan celah itu bisa dimasuki orang satu persatu.
Lelaki itu menarik tangan Chika dan Cellin untuk mendekati celah sempit itu dan ia menyuruh keduanya masuk, Cellin yang masuk pertama. Celah itu sempit, gelap dan pengap. Deru napas dan detak jantung mereka terdengar satu sama lain.
Chika menggenggam tangan Cellin, memberi ketenangan kepada sang sahabat. Cellin meremas kuat tangan Chika, menyalurkan ketakutannya yang kian hebat.
Lelaki ber-hoodie hitam itu mengintip keadaan di luar perlahan. Ia berbisik, "Aman, mereka udah balik ke kerumunan tawuran."
Chika dan Cellin menghembuskan napas lega. Ketiganya keluar dari celah sempit itu.
"Kalian langsung cabut dari sini! Di sini bahaya!" ujar lelaki itu terkesan marah.
"Iya B-bang, makasih ... udah nyelametin kami," ujar Cellin dengan suara bergetar.
"Iya, terima kasih banyak," timpal Chika.
"Iya sama-sama. Ingat, kalian jangan lagi-lagi nekat ngelakuin hal bodoh kayak tadi! Samperin kerumunan orang tawuran! Bahaya!" omel lelaki ber-hoodie itu lagi.
Chika dan Cellin mengangguk bersalah.
Lelaki ber-hoodie itu meninggalkan Chika dan Cellin yang sama-sama senyap. Keduanya dipenuhi rasa penyesalan dan merasa bodoh atas perbuatan mereka sendiri, terutama Cellin, ia sedari tadi merutuki kebodohannya yang membuatnya dan Chika dalam bahaya.
"Taksi online kita tadi katanya nunggu di taman depan itu deh." Chika memecah keheningan. Ia celingukan mencari-cari keberadaan taksi online itu. "Nah itu mobilnya," ujarnya menatap Cellin, mengajaknya menghampiri taksi online tersebut.
Cellin bergeming. "Chik, maaf," ujarnya lirih, lalu ia memeluk Chika erat.
Chika mengusap punggung Cellin menenangkan. "Iya udah, gak apa-apa. Sekarang kita pulang," bisiknya.
Pelukan keduanya terurai. Cellin mengusap pipinya, menghapus jejak air mata. "Gue gak bakal ngelakuin hal bodoh kayak gini lagi," janjinya.
"Iya ...," jawab Chika seraya mengangguk. Lalu ia menarik tangan Cellin membawanya menuju taksi online. Sesampainya di sana, ia masuk duluan ke dalam. "Maaf ya Pak, jadi nunggu lama."
"Oh iya, gak apa-apa Mbak." Driver itu mengubah posisi duduknya lebih tegak. "Tadi kenapa mbaknya kok nyamperin kerumunan tawuran?" tanya sang driver seraya menghidupkan mesin mobil.
"Kami ... tadi ngelihat ada yang mirip kayak temen kami, eh ... ternyata b-bukan," alibi Chika.
Cellin hendak menyusul masuk ke dalam, namun ia melihat lelaki ber-hoodie tadi hendak menaiki motor yang posisinya berada di seberangnya. Lelaki itu melepaskan hoodie dan maskernya lalu memakai ia memakai kacamata. "Chiko?!" ujarnya terkejut.
Chika menatap Cellin heran. "Kenapa sih?"
Cellin masuk dan menutup pintu mobil. "Itu Chiko kan?" tanyanya memastikan sambil menunjuk lelaki itu dari jendela kaca mobil sebelah Chika.
KAMU SEDANG MEMBACA
matema(CH)ika
Teen FictionKehidupan Chika yang sempurna sebagai murid teladan, paling pintar serta kesayangan para guru di sekolah mendadak berubah sejak kedatangan siswa pindahan yang bernama Chiko. Dalam waktu singkat, predikat tersebut diambil oleh cowok berkacamata itu...