Bantu temukan typo.
***
"Chik, gue harus move on!" ujar Cellin tiba-tiba.
Chika yang tengah memasang sepatu sekolahnya, langsung mematung. Ia menoleh, menatap Cellin lekat. "Ha?" tanyanya tak percaya.
"Yap, gue harus move on buat nyembuhin patah hati gue ini. Gue harus cari pengganti," jawab Cellin penuh ambisi. "Lo ada saran nggak gue harus pacaran sama siapa?"
Chika menggeleng. "Nggak. Ide lo terdengar gila di telinga gue." Chika buru-buru menyelesaikan mengikat sepatunya. Setelahnya, ia berdiri dan bernyambar tasnya yang ia letakkan di kursi belajarnya semalam. "Itu sama aja artinya lo nyari pengganti tapi tujuannya cuma buat pelampiasan," lanjutnya menatap Cellin lekat.
"Bukan pelampiasan, gue cuma butuh orang lain buat sembuhin luka gue. Dia yang bakal jadi pacar gue nantinya juga bakal ngerasain kasih sayang dari gue kok."
"Gak tahu ah Lin. Gue bingung sama jalan pikiran dunia percintaan lo." Chika membuka pintu kamarnya, keluar duluan.
"Kalau ada saran, langsung kasih tahu gue ya. Gue percaya cowok yang lo saranin pasti bakal berkualitas," kekeh Cellin seraya menyusul Chika yang sudah turun duluan ke bawah.
***
Chika duduk menyandar seraya mengamati ramainya kendaraan hilir-mudik. Ia melirik sekilas ke arah Cellin, gadis itu menyetir mobilnya dengan raut muka jauh lebih santai dari semalam. Cellin memang tipe orang yang mudah berdamai dengan masalahnya. Jujur, Chika sangat bangga dengan sifat Cellin yang seperti ini, yang tak mau terlalu larut dalam kesedihan dalam kurun waktu lama, namun ia tak suka jika cara Cellin untuk menyembuhkan lukanya dengan mengorbankan perasaan orang lain.
Keadaan senyap. Kedua gadis itu tidak ada yang mau bersuara.
Chika memejamkan mata. Otaknya tiba-tiba dipenuhi berbagai probabilitas.
Permasalahan:
1. Cinta bikin bego
2. Cellin minta dicarikan pengganti Amir
3. Ia harus menang dalam kompetisi melawan Chiko
4. Chiko harus kalah
5. Ia harus memperoleh nilai tes paling tinggiProbabilitas:
1. Ia bisa menyarankan Cellin untuk berpacaran dengan Chiko sehingga lelaki itu akan sibuk dengan dunia percintaannya dan konsentrasi belajarnya akan buyar
2. Cellin mendapatkan seseorang untuk menjadi pelampiasannya
3. Ia tidak perlu merasa overthinking lagi dengan kemampuannya, karena ia tak usah memikirkan berbagai taktik lagi untuk mengalahkan Chiko
4. Ia memenangkan kompetisi dan dapat mengikuti olimpiade matematika nasionalCellin menghentikan mobilnya di depan rumahnya yang tampak sepi, ia membuka sabuk pengaman yang melingkar di tubuhnya. "Mau ikut turun nggak?" tanyanya menoleh ke Chika. Ia hendak mengambil buku sekolahnya.
"Nggak, gue di mobil aja," sahut Chika. "Jangan lama-lama ya," pesannya.
"Oke ...," balas Cellin seraya keluar dari mobilnya. Gadis itu berlari, seragam Chika yang dipakainya terlihat sedikit kekecilan di tubuhnya. Rok yang sedikit mengantung di atas lutut dan lengan bajunya yang terlihat agak menyinsing. Badan Cellin lebih tinggi 4 cm dibanding Chika. Walaupun begitu, jika dilihat sekilas, tinggi keduanya akan terlihat sama.
Chika menyenderkan punggungnya. Ia harus mencoba menawarkan Chiko kepada Cellin. Lagian gadis itu sendiri 'kan yang memintanya untuk dicarikan sosok yang tepat sebagai pengganti Amir? Ralat, sebagai pelampiasan dari Amir.
Cellin menenteng sebuah tas jinjing dan menyandang tas rangsel. Ia membuka pintu mobil bagian tengah, lalu meletakkan tas-tas itu.
"Banyak banget bawaan lo?" Chika menoleh ke belakang, mengamati tas-tas Cellin.
"Iya, sekalian bawa baju ganti. Baju buat hangout nanti." Cellin menaik-turunkan kedua alisnya.
"Hangout sama siapa?"
"Sama gebetan baru gue lah!" balas Cellin dengan terkekeh.
Chika terhenyak, bukankah 30 menit yang lalu Cellin meminta dicarikan pacar? Ia menatap Cellin yang tengah memasang sabuk pengaman dengan tatapan horor. "Sejak kapan? Bukannya lo tadi minta dicariin pacar?"
Cellin tertawa renyah melihat raut kebingungan Chika. "Nggak bercanda ... Ini baju ganti buat balik sekolah nanti, gue males langsung balik ke rumah."
Chika mendengkus mendengarkan penjelasan sang sahabat. "Gue ada saran cowok, mau nggak?" timpalnya."Wait ... Udah berubah pikiran nih?" tanya Cellin sumringah seraya menghidupkan mesin mobil.
"Ya, gue pengin lo dapet cowok yang lebih oke lah, lebih bijaksana daripada Amir, pokoknya yang lebih-lebih deh."
Cellin menjalankan mobilnya. "Siapa?"
"Chiko."
"What?!" Cellin terkejut bukan main. Ia menoleh ke arah Chika meminta penjelasan.
"Iya, Chiko." Chika meluruskan kepala Cellin agar kembali menatap jalanan. "Setir yang bener! Gue nggak mau mati muda."
"Why ... Ke-kenapa harus Chiko?" tanya Cellin terbata.
"Ya, dia berkualitas. Dia oke. Dia pintar. Dia berani selamatin kita kemarin. Dia anaknya selama ini nggak pernah neko-neko. Banyak lebihnya kan?"
"Tapi ya nggak harus Chiko juga lah Chik."
"Kenapa nggak? Coba aja lah dulu. Mana tahu dia juga mau pacaran sama lo."
"Gue gak ada sepak terjang, pengalaman pacaran sama orang pintar yang nggak banyak tingkah gitu. Susah!"
"Patut dicoba. Mungkin dengan deketin Chiko—kalau berhasil dapatin hati lebih bagus—semakin cepat lo move on dari Amir. Cari cowok kayak Chiko di mana lagi coba?" kompor Chika.
Cellin menghela napas gusar. "Wait ... gue belum iya-in saran lo, gue masih mikir-mikir dulu." Cellin memijat pelipisnya, pusing.
"Jangan kelamaan, nanti Chiko diembat orang."
Cellin membelokkan mobilnya ke kawasan sekolah. "Eh ngomong-ngomong soal Chiko, nanti reaksi kita gimana? Perlu terima kasih lagi gak sih?"
"Gue rasa nggak usah. Dia kan juga selamatin kita segala pake nyamar. Emang tujuannya biar nggak ada yang tahu kalau itu dia." Kilasan asumsi Chika kemarin kembali menggelayuti otaknya. Ia percaya, Chiko hanya mencari muka, berusaha baik kepadanya untuk siasat memenangi persaingan itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
matema(CH)ika
Teen FictionKehidupan Chika yang sempurna sebagai murid teladan, paling pintar serta kesayangan para guru di sekolah mendadak berubah sejak kedatangan siswa pindahan yang bernama Chiko. Dalam waktu singkat, predikat tersebut diambil oleh cowok berkacamata itu...