"Lin, gimana? Jadikan pdkt sama Chiko?" tanya Chika menatap sahabatnya lekat, ia memelankan suaranya ketika menyebut nama rivalnya itu.
Keduanya kini tengah berada di taman dekat laboratorium biologi, mencari tempat sepi untuk memakan jajanan ringan yang mereka beli dari kafetaria tadi.
"Gue masih bingung." Cellin mendesah. Ia melipat tangannya di atas meja bundar taman itu lalu menenggelamkan kepalanya. "Dia terlalu sempurna buat gue jadiin pacar. Takut gue lebih sakit hati kalau putus nanti," gumamnya.
"Tapi tujuan awal lo kan, mau sembuhin patah hati. Jadi kalau lo udah ngerasa baik, langsung putusin aja lah," sahut Chika seraya membuka bungkus jajanan ringannya.
Cellin langsung menegakkan kepalanya. "Bentar deh, pasti lo ada tujuan minta gue pacaran sama si C? Jujur!" telisiknya dengan menyamarkan nama Chiko.
"Nggak." Chika mengelak terkejut.
"Chika! Lo gak bisa bohong dari gue! Kita udahan sahabatan 2 tahun ya!"
"Serius gak ada."
"Chika, jujur sama gue!"
Chika mendesah. "Gue sama si C berkompetisi." Akhirnya ia mengakui semuanya.
"Kompetisi gimana?" tanya Cellin menuntut penjelasan.
"Kita bersaing," jawab Chika seraya mengamati keadaan sekitar. "Lo pasti udah dengar desas-desus, kalau olimpiade matematika nasional tahun ini dua kandidat yang dipilih."
Cellin mengangguk.
"Gue ajak dia buat bersaing, kalau gue sama si C dapat nilai paling tinggi di tes seleksi, siapapun di antara kita berdua, nilai tertinggi kedua bakal undurin diri. Jadi yang ikut olimpiade cuma yang dapat nilai tinggi pertama."
"Kenapa?" Cellin menatap Chika lekat, menanyakan alasan sahabatnya melakukan persaingan itu.
"Lin, lo tahu kan gue tahun kemarin gagal ikut olimpiade cuma gara-gara nilai gue beda 1 poin? Gue nggak terima kalau sekarang dua kandidat yang terpilih. Gue sudah persiapkan buat tes ini dari lama." Chika menjelaskan alasannya, namun tidak semuanya ia ungkapkan. Ada satu alasan yang tak ia ucapkan; ia dendam dengan Chiko karena predikatnya sebagai murid teladan dan kesayangan guru direbut oleh lelaki itu.
"Lalu kenapa lo minta gue buat pacaran sama dia?"
"Jujur, gue pengin lo cepat berdamai sama keadaan, cepat move on dari Amir. Gue nggak tega ngelihat lo terpuruk karena patah hati kek gini. Gue saranin si C, karena mungkin dengan lo pacaran dengan dia, sakit hati lo dapat sembuh." Chika menghela napas pelan. "Dan gue juga berharap konsentrasi belajar cowok itu jadi buyar karena pacaran," cicitnya pelan.
"Chik, gue tahu lo nggak setega itu ngelakuin hal curang kayak gini!"
"Gue tahu gue salah ...," rengek Chika. "Tapi gue perlu sertifikat olimpiade nasional itu buat daftar ke universitas impian gue Lin ... dan gue juga udah terlanjur masuk dalam persaingan itu."
Cellin mengangguk memahami. Keduanya terdiam, sama-sama sibuk dengan pikirannya sendiri. Hening menyelimuti.
"Gue juga jahat, perlu cowok lain buat pelampiasan sakit hati gue," ujar Celin tiba-tiba. "Tujuan kita sama-sama untuk menyelamatkan diri kita sendiri. Chik ... gue pengin bantuin lo, tapi jujur Chiko nggak masuk kriteria cowok yang pengin gue pacarin. Gue pengin sakit hati gue cepat reda maka dari itu gue perlu nyari cowok yang tepat, yang sesuai sama kriteria gue," lanjutnya menggenggam sambil tangan Chika.
"Lin, please ...." Chika memelas.
Cellin menghembuskan napas pelan. "Gue mau asal lo bisa cari kepribadian, sifat sama seluk beluk si C dulu. Mana tahu gue bisa mempertimbangkan pacaran sama Si C."
"Oke, bakal gue cari. Makasih Cellin!" histeris Chika seraya memeluk sahabatnya erat.
***
Chika memain-mainkan pulpen di tangannya, otaknya tiba-tiba tak bisa diajak kompromi. Selama 30 menit ia mencoret-coret buku jurnalnya, ia hanya menemukan dua siasat untuk mencari seluk beluk Chiko.
"Ah, ini kenapa otak gue nge-blank sih?!" Chika gusar. "Oke, tenang Chika. Sambil penelusuran jalan, rencana-rencananya pasti datang." Chika menutup buku jurnalnya, lalu mengambil ponselnya di atas ranjang. Beberapa notifikasi masuk, salah satunya panggilan tak terjawab dari sang abang. Ia buru-buru langsunv meneleponnya balik.
"Halo Abanggggg," girang Chika kala panggilan tersambung.
"Halo Adek Bayi," balas sang abang seraya terkekeh.
Chika bersungut-sungut. "Udah SMA ya! Bukan bayi lagi."
"Hahaha ... iya-iya Dek bercanda. Mama, papa mana Dek?"
"Belum pulang."
"Eh Dek, olimpiade matematika nasional bentar lagi ya? Tadi Abang lihat bannernya di instagram dua bulan lagi."
"Iya, huhuhu. Takut besok tes seleksi nggak kepilih lagi Bang," rengek Chika. "Adek kan pengin masuk universitas yang sama kayak Abang. Pengin lulus tes seleksi masuk univ itu pakai jalur prestasi sama kayak Abang juga. Butuh banget sertifikat olimpiade itu."
"Jangan sama dong! Masuk jalur biasa aja, jalur lapor kek, tes utbk atau mandiri. Jangan prestasi pokoknya, nanti Abang nggak dibangga-banggain lagi sama keluarga besar!" Abang terkekeh.
"Abaanngggg!"
"Iya-iya. Pokoknya jangan pesimis kalau mau lulus tes seleksi. Harus percaya, jangan leha-leha. Tes seleksi saingannya masih satu sekolah, besok kalau olimpiade saingannya satu Indonesia loh. Jangan pacaran!"
"Siapa juga yang pacaran!" Protes Chika tidak terima. "Abang tuh yang pacaran tiap hari, foto nempel-nempel terus!"
"Gak ada ya! Orang ketemuannya aja cuma pas weekend doang," ralat Abang.
"Tapi sama aja pacaran kan!" sahut Chika kesal.
"Ah udah ah, males. Mau telepon mama aja. Bye, Bayi. Wle." Suara abang menjulurkan lidahnya. Lalu panggilan langsung diputus.
"Emang dasar Abang budak cinta!" teriak Chika. Panggilan sudah terputus. Percuma saja ia meneriaki dan mengatai abangnya itu.
***
Kalian punya abang?
Punya abang yang tipenya gimana?
Yang sikapnya manis, baik hati, suka ngasih uang? Atau ...
yang sikap awalnya manis, baik hati tapi makin lama ngeselin? Atau ...
gak ada manis-manisnya sama sekali, suka ngajak baku hantam, bikin naik darah terus?
Spill abang kalian! Wkwkwk.
Atau yang nggak punya abang, punyanya kakak atau adik, atau bahkan nggak punya semuanya, karena anak tunggal. Bisa drop komen di sini, bagikan keluh-kesah kalian!
Terima kasih❤️
Tandai kalo ada typo. Jangan lupa.
KAMU SEDANG MEMBACA
matema(CH)ika
Teen FictionKehidupan Chika yang sempurna sebagai murid teladan, paling pintar serta kesayangan para guru di sekolah mendadak berubah sejak kedatangan siswa pindahan yang bernama Chiko. Dalam waktu singkat, predikat tersebut diambil oleh cowok berkacamata itu...