Hallo gaes, maaf ga bisa up minggu kemaren, soalnya masi masa sibuk and lagi sakit, moga aja ga corona yak...
Walau begitu, cerita ini harus tetap lanjut dong :DKetika jam keluar main, Fauzan berjalan santai sambil merangkul Aldi. Mereka menuju ke kursi tempat pertemuan. Seharusnya di sana sudah menanti Rei.
Ternyata, setelah sampai, Rei tidak sendirian duduk di sana. Tara, Mery, dan Mega menoleh ke arah Fauzan dengan mata yang berbinar-binar.
"Ada apa ini, Rei? Kau memberi tahu mereka?" tanya Fauzan.
"Iya, Zan. Rupanya, Mega menguping pernyataan kalau kau akan mentraktir roti kemaren," jawab Rei.
Fauzan menoleh ke arah Mega.
"Ayolah. Gak usah pelit. Kamu bilang akan mentraktir belikan roti 'kan. Di sini kami juga menunggu kamu, sama seperti Rei," pungkas Mega.
Sementara itu, Fauzan masih melihat mata Tara dan Mery diam berbinar-binar.
"Ya sudah. Rei, ikut aku membelinya!" serunya kepada Rei.
"Oke, Bos." Rei dengan senang hati sambil riang gembira menuruti perkataan Fauzan.
"Yeay!" sorak gembira 3 perempuan itu.
Masing-masing, membawa 2 roti dan memberikan masing-masing pada wanita yang menunggu tadi. Uangnya benar-benar dari kantong saku Fauzan.
Hari berikutnya, perjuangan Rei untuk meninggal ketertinggalan dari Zifan berlanjut. Akan tetapi, nilai mereka tidak berubah selisihnya. Zifan masih saja unggul 1 poin di atas Rei. Rei sedikit frustasi karena hal itu.
Di jam istirahat, Rei sudah mulai bermain seluncuran seperti biasa. Ketika sudah berada hampir gilirannya, Rei baru menyadari kalau di depannya adalah Zifan.
Saat itu, terlintas dalam benaknya untuk menciderai Zifan secara sengaja. Dia teringat bahwa Baron pernah mendorong dan tidak terlalu disalahkan akan hal itu.
'Zifan terlalu sulit untuk dikalahkan. Jika dia cidera beberapa hari, mungkin aku bisa mengejar ketertinggalan bintang,' batin Rei.
Tangan Rei terangkat ke depan dan bersiap mendorong. Ketika sedikit lagi ujung telapak tangan Rei menyentuh Zifa, bayangan ingatan lain terlintas dibenak Rei.
Ia teringat Tara yang terluka karena insiden itu. Walaupun penyebabnya adalah pisang, namun awalnya berasal dari dorongan Baron dari ayunan ini. Juga yang terpenting, Zifan juga pasti mengalami luka seperti Tara. Mengingat betapa jahatnya hal yang akan dia perbuat, dia mengurungkan niatnya untuk berbuat kecurangan seperti itu.
Tubuh Rei bergetar dan kembali balik ke belakang, tidak jadi berseluncur. Dia turun melewati tangga dan berjalan menuju kursi untuk menenangkan pikiran.
Ketika duduk, Rei merasa hawa yang tidak asing lagi baginya. Bukan hawa baik, melainkan sebaliknya.
Rei merasa aneh karena orang ini tidak biasanya duduk berdiam diri di kursi, sedangkan mangsanya bertebaran bebas berbelanja dengan tenang.
"Apa yang kau lakukan, Baron? Tumben sekali kau tidak memalak hari ini."
"Oh, kau. Berani juga kau ngajak aku ngomong. Bosan hidup?!"
"T–tidak. Percayalah, aku cuma penasaran, Baron."
"Oh, iya. Tadi pagi, ayah membelikan makanan spesial yang rasanya super enak. Aku tidak ingin menghilangkan rasanya dari lidahku seharian ini. Rasa minuman manis itu bisa menghilangkan rasa super enaknya. Apa kau mengerti apa yang kukatakan, otak udang?"
Mendengar panggilan kasar itu, Rei merasa tersinggung dan ingin membalas kata-katanya dengan tidak kalah kasar. Banyak opsi julukan yang dapat diberikan kepada Baron yang berbadan gemuk dan besar. Misalnya saja: gorila, banteng, bison, titan, gajah, badak, kingkong, dan sebagainya.
Namun, Rei memilih untuk bersabar dan tidak membalasnya. Tentu, bukan berarti Rei mau menanggapi pertanyaan terakhir dari Baron.
"Oh ... Oke, oke."
"Hei, kau tidak menjawab pertanyaan terakhirku. Jangan-jangan kau tidak mengerti, ya? Oh, benar juga. Kau kan otak udang. Ya, sudahlah."
Rei benar-benar hampir diambang batasnya. Urat kepala Rei terlihat kecil samar-samar. Rei menahan amarahnya.
Bukannya tidak mampu melawan, Rei hanya ingin bersikap baik sesuai dengan polisi yang menegakkan keadilan.
Walau faktanya, Rei kemungkinan besar akan kalah melawan Baron. Namun, dia benar-benar bisa untuk menentang Baron.
Baron dan Rei diam melihat suasana sekolah yang berjalan dengan baik. Biasanya, Rei menikmati suasana ini bersama Tara yang riang ataupun dengan Aldi yang tenang. Kali ini, orang disampingnya ini, terlihat bosan dan menahan hawa yang gelap. Sepertinya Baron memendam suatu luapan yang dia pendam karena suatu alasan.
"Hei," sahut Baron memecah keheningan, "aku haus. Aku ingin kau cepat membelinya, sekarang!"
Rei terbungkam dan tidak bisa menolak.
"Baik."
Aura buas Baron yang berat mengekang membuat Rei tanpa sadar bergerak mematuhi perintahnya. Apalagi ketika itu, tempat duduk yang diduduki Rei dengan Baron, sepi dan hening. Suasana itu tidak begitu menguntungkan bagi Rei.
Sekitar 1 meter berjalan, Rei teringat hal yang ganjal dan bertanya, "Eh, Baron. Bukannya kamu gak mau beli minuman manis?" Rei membalik badan ke arah Baron.
"Dasar otak udang. Ternyata benar kau tidak mengerti, ya. Di sana 'kan ada jualan air putih. Kau belikan itu cepat untukku!"
Ini ketiga kalinya Baron mengatai Rei 'otak udang'. Memang logis perkataannya, namun tidak mengandung etika dan sopan santun. Sehingga, membuat sakit orang yang mendengarnya, yaitu Rei.
Atensi Rei teralihkan kepada Romi yang sedang menjalankan hukuman dengan bercucuran keringat. Berbeda dengan keringat yang semangat dari Fauzan. Keringat Romi disertai dengan kesusahan dan kesulitan.
TRIIIIIIING!
Suara bel masuk kembali telah berdenging. Harusnya, Rei segera masuk ke kelas. Melihat Romi yang belum juga menyelesaikan tugasnya, Rei merasa kasihan dan berniat membantunya kali ini.
Dia berjalan dan membantu Romi memungut sampah di sana.
"Apa yang kau lakukan, Rei? Biarkan aku sendiri menjalani hukuman ini."
"Tidak apa-apa, Rom. Aku ingin membantumu."
"Tapi, bel masuk sudah berbunyi, 'kan?!"
"Iya, tanggung sedikit lagi, Rom."
Walau Rei cuma berkata seperti itu, sebenarnya, hal itu dilakukan juga untuk menentang perintah Baron.
Baron yang tidak dituruti perintahnya itu, menggeram kesal. Dia berjalan dan siap menghajar Rei. Akan tetapi, gerak Baron terhenti ketika seorang wanita yang lebih tinggi darinya, berjalan lebih cepat ke arah Rei.
"Ekhem ... apa yang kau lakukan, Rei?"
Bu guru Desi tiba-tiba berada di belakang Rei dan Romi. Rei dipergoki melakukan kesalahan karena membantu Romi yang menjalankan hukuman.
To be continued~
================
Njan lupa like, coment, and follow juga. Oh, iya. Biar gak ketinggalan UP terbaru bisa banget masukin ke perpus loh. Makasi udah membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Friend | [Selesai]
General FictionDi rumah, Rei telah diajari untuk disiplin dalam hal kebersihan. Dengan umurnya yang baru empat setengah tahun, ia sudah bisa menyapu dan merapikan tempat tidurnya sendiri. Fazal, adiknya Rei, sering bertengkar dengan Rei di rumah. Rei sungguh jenu...