Dont plagiasi, yak :P
Stay enjoy~
Happy reading!
Siang itu, langih lumayan cerah. Langit tidak begitu menyilakan atau panas. Ada awan yang menghalang, membuat cahayanya sedang dan teduh.
"Ibu, aku dimintai untuk buat bendera, Bu," tanya Rei kepada ibunya di rumah.
"Hah, bendera? Gimana kata Bu gurunya, Rei?" tanya balik ibu.
"Katanya pakai kertas minyak, lem, sama lidi, Bu," jelas Rei.
"Oh, itu, kamu pergi beli ke warung biasa, gih. Kalau lem sama lidi, kita punya."
"Duitnya, dong Bu."
"Oh, iya. Ini."
Setelah menerima uang dari ibu, Rei pun pergi ke warung terdekat, tempat dia sudah sering jajan. Setelah itu dia balik dengan kertas minyak yang dalam keadaan tergulung.
Setelah di rumah, ibu mencontohkan pembuatan yang benar itu bagaimana. Ibu Rei menggunting sedemikian rupa, kemudian menempelkan lem di tepi-tepinya. Dilekatkan ke lidi, sehingga jadilah sebuah bendera kecil.
"Wah, bagus, Ibu," puji Rei.
"Sekarang kamu coba ya, Rei."
Ibu meninggalkan Rei sendiri untuk memasak makanan di dapur. Rei mencoba mengamati bendera mini buatan ibunya, lalu langsung mencoba mengguntingnya sama besar.
Percobaan yang pertama membuat bendera tidak lurus dan berantakan. Rei ke dapur untuk memperlihatkannya kepada ibu. Sayangnya, ibu menggeleng dan menyuruh ulang Rei mengerjakannya dengan lebih rapi dan lurus.
Percobaan kedua, Rei mencoba membuat dengan lurus dan rapi sedemikian rupa. Merasa bahwa punyanya sudah cukup sesuai dengan yang ditargetkan, Rei balik untuk menanyakan kepada ibunya ke dapur. Ibunya kembali menggeleng dengan bilang terlalu kecil.
Rei balik dan berniat melakukan percobaan pembuatan bendera mini ini lagi. Alangkah terkejutnya dia ketika bendera dan kertas minyak yang sudah sedikit rusak. Tidak hanya itu, lem juga dalam keadaan tumpah.
Dilihat di sekelilingnya, ternyata biang keroknya sedang minum air putih dengan ritme tegukan yang cepat.
"Fazal! Kau jalan gak lihat-lihat, ya? Kamu 'kan yang nginjakin ini." Rei menunjuk ke arah bawahnya tempat alat dan bahan membuat bendera itu berada.
Fazal masih belum selesai minum. Dia menambah air di gelas dan meminumnya kembali. Rei dengan sabar menunggu jawaban dari Fazal.
"Tidak, aku lari, kok Bang," jawab Fazal kepada Rei. Sekarang perut Fazal sudah tenang karena telah terpenuhi dahaganya.
"Kamu gimana, sih. Kalau lari itu lihat jalan, dong."
"Iya, Bang. Tapi, aku kan haus, Bang. Gak sengaja juga."
"Oh, ya sudah. Sekarang kamu bersihin lantai dengan kena lem itu sama tisu, terus kamu pel, ya."
"Gak, ah, Bang. Aku cape. Abang juga salah karena narohnya di tempat aku biasa lari, Bang." Mendengar itu, Rei sedikit emosi, ingin memakai cara kekerasan untuk memberi pelajaran kepada Fazal. Akan tetapi, Fazal malah langsung lari ke kamar orang tuanya.
Sayangnya, tidak ada yang pelindung di kamar itu sekarang. Dikarenaka ibu sedang di dapur, sedang memasak. Rei ikut masuk dan bersiap memberi pelajaran.
"Kekuatan ... pistol listrik!" Rei berpose seperti jari tangannya adalah pistol.
Merasa dirinya terpojokkan, Fazal berteriak, "Tolong!"
***
Keesokan harinya, Rei sudah berhasil membuat benderanya sendiri. Dua bendera itu telah berhasil ia buat walau dalam bentuk yang tidak begitu sempurna. Namun, Rei tetap senang dan bangga telah berhasil membuatnya.
Ke sekolah, Rei diantar oleh ojek sekaligus tetangganya. Di perjalanan Rei teringat bahwa bendera itu terlihat bagus saat berkibar. Dalam perjalanan itu, Rei mengibarkan bendera kertasnya dengan merentangkan tangannya.
Awalnya, kibaran berjalan lancar dan terlihat bagus. Rei riang membayangkan bagaimana keseruan nantinya. Ayahnya juga menceritakan bagaimana keseruah pawai 17 Agustusan ini.
Kecepatan, tiba-tiba berubah jadi lebih cepat di saat bapak ojeknya melihat jam tangannya. "Aduh, gawat, hampir terlambat, Rei." Namun, suatu gawat yang lain juga terjadi karena salah satu bendera Rei robek karena kertas yang tidak kuat menahan dorongan angin hasil motor yang sekarang sudah cukup hebat. Rei sedikit cemberut dibuatnya.
Setelah sampai, Rei turun agar terburu-buru. Hal itu karena, anak-anak sudah naik mobil polisi yang kosong di belakangnya itu. Mobil itu akan mengantar anak-anak ke tempat lewatnya pawai.
Saat turun, Rei tergelincir dari tempat pijakan di motor ke aspal. Telapak tangan Rei sedikit terasa sakit karena tertekan aspal. Yang paling menyakitkan, di aspal tersebut ada genangan air bekas hujan yang membuat kedua bendera tersebut ikut basah dan rusak.
Dengan tegar Rei menahan sakitnya. Dia berusaha untuk tetap kuat dan tidak menangis.
"Kamu gak apa-apa, Rei?" tanya bapak ojek yang khawatir.
"Tidak apa, Pak. Terima kasih ya, Pak." Rei berlari ke mobil yang sudah terisi banyak anak-anak sekelas. Bapak petugas kepolisian yang akan mengendari mobil ini menggendong satu per satu ke atas mobil. Rei adalah anak terakhirnya.
Terlihat di sekeliling Rei, semua anak-anak sudah bersiap dengan dua bendera mereka masing-masing. Sedangkan Rei, tidak ada bendera. Malah tangannya kosong dengan sedikit luka di telapak tangannya yang berbekas.
Melihat telapak tangannya yang terluka, dia meratapi akan kejadian yang terjadi hari ini. Tiba-tiba, ada bendera yang muncul dari pandangannya yang ke bawah itu.
"Ini, Rei. Ambillah!" Suara itu begitu ramah dan khas. Rei terkejut saat menoleh di sampingnya ternyata adalah Tara.
"Hei, Tara. U--untukku?"
"Iya, aku masih punya satu lagi, kok. Nanti, kita bisa kibarin bareng-bareng." Tara menunjukkan senyum tulusnya kepada Rei.
Merasa dirinya terselamatkan, Rei pun meneteskan air mata terharu. "Terima kasih, Tara."
"Ngomong-ngomong, tangan kamu kenapa, Rei?"
"Eh, gak apa-apa, kok." Rei berusaha terlihat kuat dan baik-baik saja.
Kemudian, perjalanan begitu lancar hingga ke tempat pawai. Anak-anak turun dan menanti pawai 17 Agustusan yang akan melewati mereka. Ketika lewat, semua anak TK mengibarkan bendera untuk ikut memeriahkan pawai tersebut. Pawainya sangat menyenangkan bagi Rei, Tara, dan lainnya karena ada musik yang cukup meriah dan beragam rombongan pawai yang lewat.
Rei bersama Tara mengibarkan bendera dengan rasa takjub dan tertawa bersama menikmati setiap momen yang terjadi saat pawai tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Friend | [Selesai]
General FictionDi rumah, Rei telah diajari untuk disiplin dalam hal kebersihan. Dengan umurnya yang baru empat setengah tahun, ia sudah bisa menyapu dan merapikan tempat tidurnya sendiri. Fazal, adiknya Rei, sering bertengkar dengan Rei di rumah. Rei sungguh jenu...