25. Cold Heart

293 39 13
                                    

Rasa sakitnya sudah mencapai batas tingkatan tertinggi. Ranka sampai lupa cara untuk menangis. Terlalu sering dia menangisi banyak hal dalam hidupnya yang terasa miris dan tragis. Sampai Ranka muak pada dirinya sendiri karena begitu sering menangis.

"Gue pamit, ya. Kalau butuh bantuan lo bisa hubungi gue," kata Gantar yang didampingi Seika.

Ranka menarik napasnya. Dia sudah memikirkan ini sejak di pemakaman. Dia tidak mau merepotkan siapapun, atau bahkan bergantung pada siapapun. Entah itu orang tua, Kakaknya, atau bahkan sahabat. Dia terlampau kecewa. Pada dirinya sendiri.

"Gue mau bicara," kata Ranka datar.

Seika dan Gantar saling berpandangan. Sekaligus terkejut karena Ranka akhirnya mau bicara juga. Sebab sejak kabar kematian neneknya berhembus, gadis itu tidak bicara apapun pada siapapun. Selain pada jasad neneknya yang sudah kaku.

"Sebelumnya gue mau berterimakasih atas banyaknya dukungan moral, bantuan juga keberadaan kalian di sisi gue. Di saat yang lain menjauh dari gue. Kalian justru dengan mudahnya merelakan diri buat bantu gue." Ranka menjeda ucapannya. Dia menatap Gantar sebentar. Hendak mengingat baik-baik wajah seseorang yang berhasil membuat jantungnya berdebar tak karuan untuk yang pertama kalinya. Setelahnya dia melirik kearah Seika.  Dia orang yang membantu Ranka dan sudi menjadikan Ranka temannya.

Sayangnya Ranka tidak merasa pantas untuk ada di sekitar mereka. Jadi lebih baik dia hentikan saja semuanya.

"Maaf gue gak bisa berlaku seperti yang kalian harapkan. Maaf juga gue gak bisa balas kebaikan kalian. Tapi semoga Allah yang balas. Setelah ini, tolong bersikap seolah kalian gak kenal gue. Kalian gak seharusnya berurusan sama orang kayak gue. "

Ranka bangkit dari tempatnya. Dia harus menemui Mamanya. Tidak peduli dengan suara gemuruh petir. Ranka berlari menuju rumah Mamanya yang cukup jauh dari sini. Perlahan rintik air hujan membasahi Hoodie hitamnya.

Ranka terus bertanya-tanya, apa tujuan dia dilahirkan. Kenapa dia selalu merasa sendirian? Kenapa keluarganya tidak seperti orang lain? Kenapa dia tidak bisa punya ibu yang hangat? Kenapa dia tidak punya ayah yang bersedia melindunginya? Kenapa dia harus sendirian melewati semua ini?

Terlalu banyak yang Ranka pikirkan sampai dia tidak sadar kalau rumah Mamanya sudah dekat.
Suara kucing kecil menyadarkannya. Di tengah jalan besar begini, kucing ini berjalan sendirian. Sama seperti dirinya. Tatapan Ranka mengendur, tak setajam tadi. Dia menggendong kucing kecil itu. Mengelusnya pelan. Lalu memutuskan meletakkannya di depan ruko. Paling tidak dia tidak harus terkena hujan.

Setelah dirasa kalau kucing itu mendapat tempat aman. Ranka melanjutkan langkahnya. Berharap hari ini Mamanya ada di rumah.

"PAK! MAMA ADA?" tanya Ranka menaikkan suaranya.

Satpam di rumah Mamanya terkejut melihat Ranka basah kuyup.
Sontak saja dia langsung mengambil payung untuk Ranka.

"Non?"

"Mama saya ada?" Ranka menolak payung itu.

"Gini Non. Nyonya—" Satpam itu terlihat gelagapan. Ranka menatap datar kearahnya. Dia menatap ke arah mobil yang terparkir. Lalu berlari menuju pintu rumah Mamanya.

Brak

Ranka mendorong kasar pintu rumah Mamanya.

Dia berjalan menuju dapur. Nyawanya serasa melayang saat melihat apa yang terjadi di depan matanya. Hancur rasanya. Ranka sampai lupa caranya bernapas.
Apa ada yang lebih menyakitkan dari ini?
Melihat Mamanya berhubungan dengan laki-laki yang jelas bukan Papanya.

Kenapa Ranka harus terlahir di keluarga sialan ini?!

Ranka tak mampu menyangga tubuhnya sendiri. Hingga dia jatuh terduduk di atas lantai. Suara benturan tubuh Ranka dengan lantai membuat kedua orang itu panik dan bergegas merapikan pakaian mereka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aranka #air_ezTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang