21 • Kembali Dirundung

151 31 28
                                    

Seika menatap tajam ke arah Gantar yang sibuk berbincang dengan temannya. Bisa-bisanya Gantar sesantai itu di saat dia, Ranka dan Seika terlibat dalam satu kesalahpahaman. Menyebalkan sekali!

Pandangan Seika beralih pada Ranka yang tengah menulis. Ia memperhatikan raut wajah Ranka dengan seksama.

Seperti biasa, raut wajahnya datar. Tidak terlihat sedih, tapi juga tidak terlihat tengah senang.
Seika mendapati hanya Ranka yang betah mengenakan almamater hingga tengah hari begini.  Bukan karena suka, Seika tahu. Ranka hanya ingin menutupi luka-luka yang ada di tangannya.

Byur

Seika membulatkan matanya ketika melihat Salsa dan teman-temannya dengan sengaja menumpahkan minuman berperisa jeruk ke kepala Ranka. Rupanya tindakan mereka makin berani saja.

Kelas yang tadinya ramai mendadak hening. Dilihatnya Gantar sudah berlari ke tempat Ranka.

Ia mengepalkan tangannya erat-erat, ia ingin tahu. Seberapa berani mereka berbuat. Salsa melayangkan senyum sinisnya pada Ranka. Lalu berjalan dengan santainya menjauhi meja tempat Ranka berada. Seolah-olah tidak terjadi apapun di sana.
Mereka benar-benar keterlaluan.

"Otak lo  dipake dong!" bentak Gantar. Sekalipun bukan dia yang diperlakukan begitu. Tapi tetap saja Gantar turut merasa emosi. Apalagi jika Ranka yang diperlakukam seperti itu.

Di saat Gantar menyuarakan emosinya, Ranka masih terdiam, namun wajahnya merah. Mata gadis itu sudah berkaca-kaca. Hanya satu hal yang ada di pikirannya saat ini.
Salahnya dimana? Sejak tadi dia diam, tidak sedikitpun mengusik Salsa. Bahkan ketika bertemu dengan mereka pun Ranka sebisa mungkin untuk menghindar dan pura-pura tidak melihat.

"Kenapa jadi lo yang sewot? Yang lo belain diem aja kok enggak ngelawan. Itu artinya dia enggak terganggu," sinis Salsa.

Hal itu membuat Gantar mendecih. Otak gadis di hadapannya ini sepertinya memang salah. Pandangannya beralih pada Ranka yang sudah basah kuyup. Almet gadis itu juga basah.

Gantar menghela napasnya, marah-marah pada Salsa hanya membuang waktu berharganya. Jadi lebih baik Gantar menarik Ranka keluar kelas. Dia juga membawa Almet yang ada di mejanya. Diikuti Seika yang langsung singgap membawa tisu.

Seika menatap tajam ke arah Salsa yang tengah menunjukkan senyumnya. Bener-bener enggak waras. Ingin sekali dia menjambak rambut panjang itu. Tapi dia tahan, dia sedang tidak minat membuat masalah.

"Kenapa lo diem aja?" kata Gantar dingin.

Ranka tidak menjawab, dia sibuk mencuci tangannya. Almetnya sudah dia lepaskan. Menyisakan seragam putih kedodorannya. Gantar bisa melihat jelas, di lengan gadis itu ada banyak luka baru. Yang bahkan darahnya sudah mengering.

"Boleh gue pinjem almet lo?" tanya Ranka mengalihkan pembahasan. Seika hanya mampu menatap keduanya. Yang jadi pusat perhatiannya adalah luka goresan di lengan Ranka.

Meski merasa kesal karena Ranka tidak menjawab pertanyaannya. Gantar tetap menyerahkan almamaternya.

"Gue enggak mau Seika salah paham. Lo tenang aja, besok gue bakal balikin almet lo." Ranka sudah bersiap untuk kembali ke kelas.

Dengan sigap Gantar menghalangi jalannya. "Kenapa sih lo selalu suka menyimpulkan semuanya sendiri? Lama-lama gue kesel juga." Perkataan Gantar terasa menembus hatinya. Mengikis pertahanannya. Mengantarkan Ranka pada luka yang sama, ketika orang-orang menyerah atasnya.

"Gantar!" bentak Seika.

"Kenapa? Omongan lo tempo hari ada benarnya juga. Dia ini enggak pernah peduli sama orang di sekitarnya. Enggak bisa menghargai kebaikan orang di sekitarnya. Dan asal lo tahu, Seika itu kakak gue." Gantar meninggalkan Ranka begitu saja.
Ranka menatap Seika. Dia sudah tidak punya muka untuk berhadapan dengan Seika. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya.

Jadi, selama ini dia sudah salah paham?

Seika menyerahkan tisu yang ada di tangannya pada Ranka. Gadis itu menatap nanar ke arah Ranka. Lalu melangkah pergi menyusul Gantar.

Dan ketika Seika pergi meninggalkannya, dia tidak berniat untuk menghentikan langkah perempuan itu.

Dia benar-benar ditinggalkan.

Ranka bergegas memasukin toilet perempuan. Ia meraba dadanya yang terasa sesak. Ia memejamkan matanya. Bahkan sekalipun hatinya hancur, air matanya tidak bisa keluar. Dia ingin pulang. Tapi tidak ada satu pun tempat untuk dia bisa pulang. Kedua orang tuanya? Ranka bahkan sudah tidak mau berharap apapun lagi pada mereka. Rygan? Dia tidak mau membebani kakaknya, sudah cukup kakaknya menderita karena dia.

Teman? Bahkan dia tidak pernah merasa pantas untuk berteman dengan siapapun. Lalu dia harus pulang kemana?

Selama lima menit berada di toilet. Ranka menatap pantulan wajahnya di cermin. Berulang kali merapalkan pada dirinya. Semua akan baik-baik saja, tidak apa-apa.

Sekuat tenaga dia menahan dirinya untuk tidak melakukan cutting.  Sebab yang ada di otaknya hanyalah berbagai cara untuk menyakiti dirinya dengan benda tajam supaya rasa sakit yang kini dia alami bisa berkurang.

Dia tidak ingin kembali ke kelas. Dia tidak mau bertemu siapapun. Yang dia mau saat ini hanyalah pulang.
Tapi keadaan selalu memaksanya untuk berdamai. Bersikap seolah-olah dirinya baik-baik saja. Padahal kepalanya serasa mau pecah.

Menyalakan keran, Ranka membasuh wajahnya yang nampak kusut.

Tiba-tiba saja ponselnya berdering, ada panggilan dari nomor yang sama. Nomor yang mengirimkan dia pesan tentang keberadaan neneknya.

Ranka menarik napasnya sejenak, lalu menjawab panggilan tersebut.

"Hallo?"

Mendengar jawaban dari seseorang tersebut tubuh Ranka seketika membeku. Tubuhnya gemetar.

Ceklek

Salsa ada di sana, bersama kedua temannya dan menatap tajam ke arah Ranka.

Apalagi ini?

"Sumpah sih, gue benci banget sama lo!" kata Salsa tiba-tiba.

Gadis itu berjalan mendekati Ranka dengan penuh kebencian.

Plak

Satu tamparan kencang melayang ke wajah Ranka, hingga tubuh gadis itu terhuyung. Pipi Ranka memerah.
Dia menatap tajam ke arah Salsa.

"Gue pengen banget datang di acara penguburan mayat lo. Itu wish list gue tahun ini," kata Salsa. Sebelum meninggalkan Ranka. Salsa menarik paksa tubuh Ranka dengan bantuan temannya ke dalam salah satu bilik kamar mandi.

Ranka memberontak, dan setiap gerakan pemberontakkan yang dia lakukan. Maka Salsa dan temannya dengan senang hati menjambak rambutnya.

"Selamat membusuk di sini," kata Salsa disertai senyum kesenangan.
Dia senang melihat kehancuran Ranka.

"Kenapa lo lakuin ini? Salah gue apa?!" bentak Ranka.

Dia sudah sangat putus asa dan muak dengan kehidupannya.

"Salah lo? Ehm apa ya? Coba lo tanya sama si jalang itu, eh sorry maksud gue tanya Mama lo aja," kata Salsa.

Gadis itu langsung mengunci Ranka.

Brak Brak

"Keluarin gue dari sini!!"
Ranka menendang kasar pintu toilet.
Ia mengusap wajahnya dengan kasar.

Dia harus mencari bantuan.

Pikirannya benar-benar sudah semrawut. Baru saja mendapat kabar yang membuatnya hancur, lalu penyiksaan yang Salsa lakukan kepadanya dan lagi tadi Salsa menyebut Mamanya. Kenapa orang-orang seakan-akan menginginkan kematiannya?

Dia tidak bisa berbuat banyak. Hanya Allah harapannya. Dia sudah pasrah.

"Ada orang di sini?" Terdengar suara seseorang dari luar bilik toilet. Hal itu membuat Ranka bangkit.

"Iya, tolong gue. Gue kekunci di sini," kata Ranka parau.

Dia sungguh ingin menangis, tapi tidak bisa.

"Oke, lo tunggu di sini. Gue bakal cari bantuan," kata orang itu.

Ranka membeku, dia seperti kenal dengan suara ini.

Aranka #air_ezTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang