PROLOG

9.6K 775 37
                                    

Bukankah seharusnya musim kemarau sudah datang di bulan Juni? Setahuku, menurut buku-buku yang pernah kubaca, musim kemarau seharusnya terjadi di bulan April hingga September. Bukannya hujan petir yang menakutkan seperti ini. Dalam hidupku, ini salah satu hujan petir yang paling menakutkan yang pernah terjadi. Kalau biasanya aku menyukai hujan, kali ini aku akan membencinya.

Ada beberapa alasan untukku membenci hujan hari ini, tapi yang paling membuat rasa benci menguasai hatiku adalah hujan menjebakku dan membuatku terpaksa tinggal di restoran dengan Dewa dan Tira. Ini lebih lama dari seharusnya.

Sesuai janjiku pada Dewa beberapa hari lalu, aku hanya akan meluangkan satu jam waktuku untuk mendengar Dewa dan Tira — yang mereka namai acara 'meluruskan kesalahpahaman' ini. Dalam satu jam mereka berjanji menyampaikan apa yang mereka sebut kebenaran mengenai hubungan mereka berdua. Perca — Oh, tidak. Acara 'meluruskan masalah' sudah berakhir sepuluh menit yang lalu. Aku bisa saja langsung pergi, tapi Dewa melarangku mengendarai mobil disaat hujan turun dengan deras. Ya aku tahu kalau penglihatan akan berkurang karena guyuran air, tapi aku tidak tahan disini sedetik lagi.

"Aku pulang, Wa."

Kali ini aku berdiri dan langsung bergegas meninggalkan meja kami. Karena terlalu berkeras, pahaku sedikit membentur pinggiran meja dan menggulingkan cangkir tehku yang masih berisi separuh.

"Des, ka—"

Aku mengibaskan tangannya dan berjalan menjauh. Dewa masih memanggil namaku sambil mengikuti langkahku. Tepat sebelum aku keluar dari teras restoran, dia mencekal lenganku.

"Ngapain kamu di sini? Nggak perlu menemani Tira kamu itu?" tanyaku dengan keras.

Ya, aku menggelikan, menjijikkan, dan menjengkelkan kedengarannya sekarang.

Dewa mendesah pasrah, "Aku cuma nggak mau kamu mengemudi disaat hujan seperti ini, Des. Aku ngg—"

"Aku baik-baik aja!" bentakku sambil berusaha melepaskan tangan.

Dia tak melepaskan tanganku. Bahkan aku merasa sedikit kesakitan.

"Aku nggak akan melepaskan kamu dengan alasan apapun!"

Dewa membentakku. Ini peristiwa langka. Aku tahu aku berhasil membuatnya kesal dan mengeluarkan amarahnya. Dia menarikku mendekat, memeluk lenganku, dan membawaku menerobos hujan menuju mobilnya. Setelah berada di mobil dalam keadaan setengah basah dan setengah kering, dia mengatakan akan mengurus mobilku besok. Dia akan menyuruh seseorang mengambilnya dan sebagainya dan sebagainya.

"Kamu nggak perlu meninggalkan dia untukku," kataku setelah kami nyaris tiba di rumah.

"Kamu suruh aku pilih apapun dibanding kamu, aku nggak akan melakukannya, Des. Kamu tahu itu."

"Kenyatannya, kamu sudah pernah melakukannya," balasku.

Dia tak mencoba membalasku hingga kami tiba di rumah. Dia kembali meraih tanganku dan menggandengku ke kamar. Sepanjang jalan aku memperhatikan urat-urat hijau yang keluar dari lengannya karena terlalu kencang menggenggamku. Perhatianku terputus saat kami sudah tiba di kamar kami. Dia melepaskan tangannya saat sudah mengunci pintu. Dengan cepat dia mengambil handuk bersih di lemari dan mengeringkan badanku. Perhatian kecil itu membuatku panas dan frustasi ingin meneriakinya.

"Kamu mempersulit diri, Wa. Kan aku sudah bilang aku bisa melepasmu ka—"

Bibirku berhenti bicara karena handuk yang sedang mengusap lenganku berhenti bergerak. Dewa kemudian menatapku. Ada banyak emosi disana yang membuatku takut.

"Kamu bilang kamu butuh bukti, Des. Aku bawa kamu bertemu dengan Tira langsung, apa lagi yang kamu inginkan untuk memuaskan keinginan bukti kamu sih?"

Suara Dewa dalam dan dingin.

"Aku nggak akan menceraikanmu. Ingat itu. Sampai aku mati pun, aku nggak akan pernah melakukannya."

Dia membanting handuk ke lantai dan duduk di tepi tempat tidur. Dia mengubur wajah di dua belah tangannya dan mengusapkan jemarinya di kepala secara kasar.

"Wa," aku menoleh ke arahnya, "Kamu nggak bisa melupakan dia. Sampai kapan kamu mau menipu diri sih?"

Kepalanya seketika mendongak dan tatapannya lebih marah lagi. Dia mengambil satu langkah lebar dan berdiri tepat di hadapanku.

"Dengar," dia mencekal dua lenganku, "Aku menganggap dia sebagai sahabat. Itu karena kami mengenal dari lama. Aku mengakui aku salah kemarin karena melibatkan diri dalam masalahnya dan melukaimu karena menyembunyikan kebenaran. Tapi itu bukan karena aku tidak bisa melupakan dia. Aku cuma menginginkan kamu."

"Berhenti merasa perlu bertanggung jawab atas aku."

Dia mengernyit dan menggeleng, "Kamu berkeras kepala untuk sesuatu yang nggak pasti, Des."

"Aku mau pisah rumah, Wa. Kasih aku ruangku sendiri," kataku sambil berusaha melepas diri.

Berpisah rumah adalah keputusan besar, aku tahu. Hanya saja saat kami bersama, aku tidak bisa meyakinkan dia. Mungkin karena kami terus bertemu. Kalau ada jarak, kalau ada, aku yakin Dewa akan menyetujui perpisahan ini. Dia hanya butuh jarak untuk mendorongnya kepada kesadaran.

"Apa?" Tentu saja dia tak melepaskanku.

"Ya, aku mau pulang ke apartemenku. Aku butuh ruang untuk berpikir. Aku rasa kamu juga butuh untuk bisa lebih waras menyetujui perpisahan ini."

"Kamu pikir kamu bisa menjauhiku dengan pindah rumah?" Dia menggeleng.

"Sampai mati pun, sampai aku mati, aku nggak akan melepaskanmu. Pegang kata-kataku, Des."

Bulu kudukku meremang mendengar pernyataannya barusan. Bahkan sumpah nikah kami tidak pernah punya pengaruh sebesar sumpahnya barusan padaku.

"Kamu bisa lari kemana pun kamu mau, tapi jangan pikir aku tidak bisa mengejarmu. Aku akan melakukannya."

Sayangnya, itu bukan terakhir kali aku mendesaknya untuk menyetujuiku pisah rumah. Butuh setidaknya tiga bulan kemudian untuk Dewa mengatakan 'iya' untuk permintaan itu.

***

PEMILIK HATI 2 : DEWANTO & DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang