BAB 18

3.2K 506 17
                                    

"Apa?" tanyaku nyaris berbisik.

Bisa saja aku salah dengar kan? Yah, tentu saja. Nyaris benar malahan. Cinta bukanlah sesuatu yang kudapati ada di dalam diri Dewa untukku.

"Hanya karena aku bukan yang mengajakmu berkenalan lebih dahulu, bukan berarti aku nggak jatuh cinta pada kamu," ujarnya.

"Hanya karena kamu yang selalu menghidupkan suasana di antara kita, bukan berarti aku rela melepasmu begitu saja."

Cengkeramannya menguat.

"Hanya karena kamu memiliki keluarga yang selalu membuatmu pusing, bukan berarti aku sempurna. Aku juga pernah bersalah. Itu seharusnya cukup membuatku terlihat tidak sempurna dan membutuhkan kamu kan?"

Aku mengerjap menatap kilatan marah itu di mata Dewa. Demi Tuhan, dia tidak pernah seperti ini.

"Hanya karena aku pernah berbuat salah, bukan berarti aku nggak mencintaimu. Kenapa kamu menganggap remeh perasaanku dengan memaksakan anggapanmu kalau aku mencintai Tira? Sialan. Aku nggak pernah menginginkan Tira atau siapapun seperti aku menginginkan kamu. Ya, si bodoh dan dungu ini menginginkan kamu hingga rasanya ingin mati, Des. Kalaupun aku membantu Tira, demi apapun aku nggak menginginkannya seperseribu dari rasa menginginkan kamu."

Dewa sedikit memberi jarak wajah kami, tapi masih menatapku seperti pemangsa. Ingin sekali aku mematahkan logikanya mengenai perasaannya, tapi aku menahan lidah. Aku ingin mendengar kata-kata itu. Kata yang tak pernah diucapkannya padaku.

"Kamu membuat aku nyaris gila karena kamu menghilang, membuatku nyaris mati dengan pergi seperti itu, semua hal terasa tidak lagi pada porosnya ketika kamu pergi, Des. Kalau kamu berkeras mengenai mengubah takdir kebersamaan kita dengan perpisahan, aku akan memastikan itu nggak akan terjadi. Apapun, kemanapun, dan bagaimanapun, aku akan bertahan dan membuatmu kecewa karena gagal menendangku pergi," sambungnya.

Hatiku terenyuh mendengar semua kata-kata Dewa.

Sejak kapan dia pandai berkata-kata seperti itu? Terutama, sepuitis itu.

Kata-katanya mengguncangku dan membuat mind set-ku selama ini terasa salah dan timpang. Aku selalu merasa menderita karena mencintai Dewa dan itulah yang membuatku dengan mudah dan tanpa pikir dua kali selalu berusaha menendang Dewa keluar dari hidupku.

Tapi penjabarannya tadi ... Oh Tuhan, apa benar dia semenderita itu? Nyaris sama denganku?

Apa yang dirasakannya ternyata tak terasa lebih baik dari yang kurasakan. Dia sama menderita dan sesaknya karena perasaan kami.

Aku memberanikan diri menatapnya mantap.

"Kalau begitu, cintai aku, Wa. Cintai aku," kataku dengan suara tersekat.

Mata Dewa melebar menatapku dan dia mengumpat pelan. Bukan karena marah, tapi seolah kata-kataku menyentuh hatinya. Setelahnya dia menunduk dan menciumku. Bibir basah itu menangkap bibirku dan bergerak menguasai. Aku mendengar cercapan, rengekan, dan permohonan. Mungkin itu darinya, atau dariku, atau kami berdua.

Sudah lama aku tidak merasakan ciuman seperti ini dari Dewa. Ada rindu, amarah, kelegaan, dan menuntut.

"Aku akan mencintai kamu, Des. Katakan padaku, dengan cara seperti apa kamu ingin dicintai sebelum aku menyita waktumu dengan menunjukkan caraku mencintaimu," bisiknya parau di atas bibirku.

Aku mendesah ketika bibirnya turun ke denyut di leherku dan aku memutuskan berhenti berpikir. Aku ingin mengikuti kata hati dan desakan gairah untuk saat ini. Kedua telapak tanganku mencengkeram helain rambut Dewa dan menikmati liukan karena serangan ciumannya. Yang berikutnya kurasakan adalah udara dingin karena pakaian kami terlepas, hangat ketika kulit kami bertemu, lembut dan kuat tubuh Dewa di dalamku, dan kepuasan.

PEMILIK HATI 2 : DEWANTO & DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang